Fri, 26 Apr 2024
Esai / Dec 18, 2020

Ramadhan dan Praktik Keagamaan di Tengah Pandemi

Marhaban ya ramadhan, itulah isi status, mention dan snapgram umat muslim beberapa hari yang lalu. Di tengah pandemic yang melanda hampir seluruh Negara di dunia ini, Bulan Ramadhan seakan menjadi vaksin dan obat penenang bagi umat muslim di seluruh dunia. Bagaimana tidak di tengah pandemic yang belum diketahui ujungnya, bulan kemuliaan yang di tunggu-tunggu hadir seakan menjadi oasis di tengah gurun sahara.

Di lansir dari situs resmi (Covid19.go.id), Sampai hari ini pandemi COVID-19 setidaknya telah mewabah ke 215 Negara, dengan 3 juta lebih kasus yang terkonfirmasi. Telah menelan kurang lebih 200 ribu penduduk dunia yang telah di laporkan oleh WHO (World Health Organisation). Sedangkan di Indonesia sendiri sudah 11.876 orang yang positif, 845 Meninggal dunia dan 1,876 yang di konfirmasi sembuh .

Berbagai kebijakan pun telah dikeluarkan oleh pemerintah guna menekan penyebaran virus COVID-19 ini, mulai dari kampanye Social distancing, Physical Distancing, PHBS, sampai PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) menjadi kebijakan yang di ambil oleh pemerintah sampai sekarang ini. Tagar #dirumahaja dan #stayathome juga memenuhi laman social media kita guna untuk bersama-sama menekan penyebaran virus COVID-19 ini.

Ramadhan Bersama Corona

“Ada yang berbeda dari ramadhan kali ini tapi bukan dia”, jokes ini mungkin kedengaran lucu tapi memiliki pesan kesedihan di dalamnya, mengapa tidak ramadhan yang identic dengan kehidupan interaksi social yang kental di dalamnya harus di ubah menjadi social distancing. Sahur On the Road, Bukber (Buka bersama), ngabuburit, Ifthar bersama, sholat tarwih berjamaah di masjid dan sholat idul fitri seakan menjadi wacana yang tidak bisa di laksanakan dan semuanya digantikan dengan istilah online atau menggunakan media teleconference untuk bertatap muka.

Tentu ramadhan kali ini seperti ada yang hilang namun perlu di garis bawahi bahwa perbedaan ini tidak sampai mengurangi esensi beribadah kita kepada tuhan. Ramadhan bersama corona kali ini bisa kita gunakan untuk lebih banyak bermuhasabah diri, beristigfar serta memohon ampun dan doa agar pandemic ini segera di angkat oleh allah.

Namun, di balik pandemic ini ada pesan yang ingin diberikan bumi dan tuhan kepada kita, bahwasanya bumi kita butuh istirahat dari berbagai polusi yang kita cemarkan, tanpa kita sadari bahwa selama pandemi ini udara yang kita hirup terasa sedikit lebih segar terkhusus di daerah perkotaan yang biasanya di warnai oleh asap kendaraan yang mengurangi kualitas udara di sekitar kita.

Dari pandemi ini juga, kita semakin sadar bahwa kesenjangan social diantara kita masih sangat terasa bagaimana tidak ketika wacana Work From Home yang di keluarkan oleh pemerintah, namun, masih ada di luar sana saudara kita yang masih harus bekerja untuk mencari nafkah untuk keluarganya, tentunya ini menjadi tamparan bagi kita yang mempunyai kelebihan harta untuk turut membantu saudara kita.

Tapi, satu hal yang perlu tekankan bahwa walaupun sekarang kita berada di tengah pandemic namun kemuliaan dan keistimewaan bulan ramadhan secara esensi tidak akan terkikis dikarenakan wabah ini, sesuai dengan hadis, “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far dari Abu Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila bulan Ramadhah datang, maka pintu-pintu surga dibuka” (H.R Bukhari no.1765).

Hadis ini menjadi salah satu bukti kemuliaan bulan suci ramadhan. Dengan adanya atau tidak pandemic ini tidak akan mengganggu eksistensi kemuliaan dari bulan ramadhan itu sendiri.

Praktik keagamaan di tengah Pandemi

Awal-awal pandemic ini umat beragama di seluruh dunia dihadapkan pada otoritas kesehatan dan pertemuan komunal peribadatan. Karena itu, praktik-praktik keagaman yang menuntut pertemuan antar komunalpun dibatasi dikarenakan otoritas kesehatan.

Di tengah ketakutan akan wabah nilai-nilai spiritualitas umat beragama menjadi meningkat, semangat keagamaan melalui metode penyembuhan spiritual pun menjadi marak sehingga muncul asumsi-asumsi penyembuhan yang tak memiliki dasar sains. Yang dimana membawa umat beragama ke tempat ritual suci yang memperbesar kemungkinan terinfeksi.

Dilansir dari (m.merdeka.com/26/03/20) “di Myanmar, seorang biksu Buddha terkemuka mengumumkan bahwa dosis satu jeruk nipis dan tiga biji palem-tidak lebih tidak kurang akan memberikan kekebalan. DiIiran, beberapa peziarah terekam sedang menjilati kuil-kuil muslim syiah untuk menangkal infeksi”.

Hal tersebut mungkin dipikiran beberapa orang merupakan hal konyol, namun perlu digaris bawahi bahwa peran agama sangat penting ditengah wabah pandemi ini. Agama seakan menjadi sebuah alternative pelarian di tengah wabah yang belum di temukan vaksinnya ini.sehingga membuat umat beragama menempuh segala cara agar terhindar dari wabah pandemik ini.

Berbagai ujaran kebencian pun tak terelakkan, ungkapan bahwa pandemic ini adalah sebuah teguran dari tuhan, azab kepada kaum tertentu dan cobaan kepada umat tertentu pun dilontarkan. Namun, hal tersebut terbantah dengan sendirinya karena fakta bahwa virus ini tidak mengenal identitas agama, ras, suku maupun golongan tertentu. Dalam salah satu dialog perdamaian yang diadakan oleh “KITA Bhineka Tunggal ika” yaitu bapak Pdt. Adrie Massie, S.Th berpendapat. bahwa “COVID-19 memberi ksempatan kita untuk merefleksikan ibadah agar agama tidak hanya institusional tetapi juga bersifat fungsional”

Secara garis besar umat islam pun terbagi menjadi dua di kubu, pertama adalah kubu pemahamannya mirip qadariyah, kubu ini cenderung melakukan himbauan pemerintah dan ibadah from home. Kedua kubu mirip pemahaman jabariyah adalah orang yang tetap melaksanakan ibadah di masjid, dengan dalih menyerahkan segalanya kepada tuhan tanpa ada ikhtiar sebelumnya. Dalam islam kita mengenal kaidah ushul fiqh yang bermakna bahwa “menghindari mudharat lebih baik dari mengambil manfaat’

Kesimpulan, bahwa pandemi ini menjadi tantangan bagi seluruh umat Bergama untuk melaksanakan ritual ibadah di tempat keramaian dan melakukan interaksi social secara komunal. Namun pandemi ini tidak mengurangi nilai esensi dari ibadah yang dilakukan, baik yang di lakukan dirumah aja maupun di tempat ritual.

Sebuah sikap yang seharusnya di munculkan oleh umat beragama adalah sikap sabar serta ikhtiar dan usaha untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa melalui ibadah di rumah aja, dengan memperbanyak istighfar, zikir dan membaca al-qur’an bagi umat muslim. Mari saling menjaga satu sama lain dan memperbanyak ibadah untuk mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa.

#stayhome #ibadahdirumahaja #stayhealthty
Wallahu a’lam bi al-shawab
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

Penulis: Aslan, aktif di komunitas KITA Bhinneka Tunggal Ika.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.