Seberkas Kilatan Superconscious
Orang yang canggih pemikirannya, ada suatu kesadaran lebih tinggi yang pernah hinggap dalam dirinya dan tidak bisa Ia akses kembali. Satu-satunya alat yang dapat mengakses kembali kesadaran itu adalah rasio. Rasio mencapainya, mengolahnya, membawanya ke kesadaran normal saat ini, lalu menghasilkan kata dan kalimat. Kesadaran lebih tinggi ini yang Wiber dalam bukunya Sex, Ecology, Spirituality sebut sebagai “superconscious”, “kebenaran” atau bahkan yang paling dalam dari ini adalah “Tuhan” itu sendiri. Sesuatu yang tak terbatas.
Kesadaran ini menyimpan “rasa (feeilng) terdalam integral ilmu pengetahuan” dengan biasannya yang bertingkat. Lewat kesadaran ini tersimpan pula “panggilan internal ilahiyah”. Segala Ilmu ada rasanya/feeling-nya. Dunia (real) rasa ini tak tersentuh bahasa. Kau sampai pada suatu ilmu, ketika kau mencapai rasanya.
Para expertise itu sudah mencapai rasanya ilmu yang mereka tekuni. Kalau tidak, mana mungkin mereka menghabiskan banyak dari waktunya bahkan seluruh hidupnya hanya untuk itu. Psikolog klinis asik dalam terapinya, Matematikawan asik dalam hitung-hitungannya, Sosiolog asik dalam analisis masyarakatnya, Fisikawan, Astronom dan para expertise lainnya. Namun feeling yang mereka rasakan itu tidak integral. Feeling yang mereka rasa seperti hanya seberkas dari superconscious.
Orang-orang Barat (tampaknya) lebih rasional, menggunakan fungsi intelektual dan kognitif mereka dibanding orang-orang Timur. Pemikirannya lebih canggih sehingga menjadi pusat peradaban modern ini. Tanpa kita tahu, bahwa sebenarnya tersimpan kerinduan dalam diri masyarakat barat akan suatu kesadaran lebih tinggi. Kesadaran yang memanggil-manggil mereka “beranjak” ke “sumber” metafisis. Insight, ide, inspirasi, begitu mereka menginterpretasikannya. Insight, ide atau inspirasi ini lewat bagi kilat dalam kesadaran mereka. Menghentak lalu menghilang.
Dari momen ini lalu Einstein merumuskan E=MC kuadratnya. James mengemukakan teori pragmatisnya. Maslow membentuk konsep humanistiknya. Nicola Tesla merancang bola lampu listriknya. Semuanya bermula dari “kilatan” ide, seberkas superconscious. Rumus dan temuan-temuan itu ada untuk mengikat rasa-rasa ini. Kilatan ini datang berkali-kali berdasarkan kadar para ahli yang menerimanya. Lalu mereka menginterpretasikan dan bersusah payah menginvestigasinya lebih jauh, mencari “kilatan” ini lebih banyak.
Darinya lalu tercipta kompleksitas ilmu pengetahuan sampai saat ini. Kompleksitas ini ada untuk “mengikat” rasa seberkas superconscious itu. Agar orang-orang dapat mengaksesnya kembali kapan pun dalam keadaan apa pun. Tinggal membuka buku, baca, bertanya ke expert jika tidak diketahui, sedikit menalar, dan walla kau mengerti suatu ilmu.
Mengerti suatu ilmu bukan berarti paham sampai ia betul-betul diapraktekkan, digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu itu dipahami ketika menghujam hati dan menghentak kesadaran. “oooooohhhhhh” kata orang yang paham, lalu dengan segera ia beranjak menggunakannya dalam hidup. Dengan segera. Momen inilah ketika “kilatan” ini berhenti menyambar kesadaran. Tugasnya selesai lalu meninggalkan “jejak kaki” agar orang-orang tergoda menginvestigasinya lebih jauh.
Banyaknya para murid yang melupakan sebagian besar pelajaran yang diberikan di kelas hanya karena belum tahu untuk apa ilmu tersebut. Para murid lalu tak menganggapnya penting sehingga feeling-nya tidak dirasa. Ilmu itu hampa bagi mereka. Ada orang mengetahui suatu ilmu, namun tidak melalui proses pembelajaran pada umumnya. Para mistikus (spiritualis /sufi/biksu/rohaniawan atau apapun anda menyebutnya).
Mereka mengetahuinya lewat jalan-jalan transformasi kesadaran. Mereka tahu bagaimana menggerakkan kesadaran diri menuju tingkat kesadaran tertinggi tempat bersemayam rasa (feeling) terdalam integral ilmu pengetahuan ini. Inilah yang dilakukan kebanyakan orang-orang di Timur. Mereka tampaknya tidak memaksimalkan intelektual dan kognitif.
Tanpa kita ketahui bahwa kebanyakan orang-orang Timur telah sampai merasakan seluruh superconscious. Bukan lagi kilatan ide yang menyambar, seluruh kesadaran itu terbuka bagi mereka. Rasa terdalam integral ilmu pengetahuan telah disadari oleh mereka tanpa adanya biasan apapun. Mereka memahami segalanya. Seluruh alam semesta serasa logis bagi mereka. Tidak diperlukan lagi pengembangan ilmu dan lainnya.
Namun, yang disayangkan ialah terkadang mereka kurang berkepentingan mereduksi kesadaran yang luas / integral ini menjadi bagian-bagian tertentu. Entah apakah itu disebabkan segala bidang dan percabangan seakan satu entitas dan tak terpecah bagi mereka, atau hal lain. Karena telah sampai ke kesadaran tertinggi ini, tidak dibutuhkan lagi rasio. Apa lagi yang mau dicerap? Integrasi keilmuan segala sesuatu telah hadir dalam diri mereka. Ilmu huduri.
Mereka mengetahui zaman setelah zaman mereka, apa yang terjadi dahulu kala dan kualitas metafisis lainnya. Tentunya penjelasan ini adalah gambaran ideal. Para mistikus juga bergradasi dalam merasakan superconscious yang tak terbatas mereka.
Simpulan dari pemahaman seluruh ilmu mengarah pada konsekuensi praktis. Karena segala sesuatu telah final bagi mereka, maka ilmu yang keluar adalah moral dan akhlak. Ajaran, tuntunan, dan cara hidup dengan benar. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menyimpan 1001 rahasia kehidupan.
Tampak berintelektual dan modernnya masyarakat Barat dengan begitu tidak mengindikasikan kemajuan secara personal mereka dibanding masyarakat Timur. Malah terbalik, orang-orang yang masih berputar di ranah intelektual dan rasio ini, masih berusaha mencerap kesadaran lebih tinggi yang muncul-menghilang dalam diri mereka. Ketika masyarakat Timur selesai dengan itu, masyarakat barat malah baru memulainya.
Kasihannya lagi mereka mengira temuan-temuan dan teori-teori ini sesuatu yang baru di dunia sehingga menggaungkannya ke seluruh dunia. Mereka menjelajah dan melakukan pemaksaan sistem kehidupan ke seluruh dunia. Sistem yang menurut mereka maju dan modern. Beberapa masyarakat timur justru lebih kasihan dan aneh dari itu. Mereka berusaha sok kebarat-baratan & menanggalkan kebijaksanaan budaya mereka dengan alasan ketinggalan zaman.
Review: Selayang Pandang Apresiatif
Penulis: Muhammad Ali Abdurrahman, Sekretaris Komisi II Maperwa Kema Fakultas Psikologi UNM.