Thu, 12 Dec 2024
Esai / M. Aris Munandar / Jan 04, 2021

Sebuah Novel Untuk Seorang Novel

Konsepsi Hukum Pidana di Indonesia

Hukum merupakan instrumen yang digunakan dalam menegakkan keadilan bagi semua orang. Keberadaan hukum tidak hanya berkaitan dengan undang-undang atau aturan tertulis semata, melainkan juga termasuk hukum yang tidak tertulis. Ada banyak teori yang menjelaskan tentang konsepsi hukum beserta tujuannya.

Seperti yang dijelaskan oleh John Austin seorang ahli hukum, berpendapat bahwa hukum ialah seperangkat perintah, baik langsung atau tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, di mana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas tertinggi.

Secara letterlijk, dalam ilmu hukum dikenal beberapa lapangan hukum. Salah satunya ialah lapangan hukum pidana. Menurut Prof. Dr. Mr. H. A. Zainal Abidin Farid, SH. (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin) dalam bukunya “Hukum Pidana 1”, mengatakan bahwa secara singkat hukum pidana (ius poenale) dapat dirumuskan sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi mereka yang mewujudkannya.

Jika merujuk pada pendefinisian tersebut, maka hukum pidana merupakan panglima tertinggi dalam negara hukum untuk memberantas setiap kejahatan yang bersumber dari setiap kesalahan baik berupa kesengajaan (dolus) maupun kelalaian/kealpaan (culpa).

Kesalahan dalam hukum pidana diartikan juga sebagai setiap perbuatan (dolus atau culpa) yang melawan hukum. Van Haltum, berpendapat bahwa pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur sehingga seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum. Sedangkan menurut Moeljatno dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” memberikan pembatasan, bahwa dalam hal terdakwa dapat dikatakan bersalah, wajib memenuhi unsur yaitu

a) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum); b) Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab; c) Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan; dan d) Tidak adanya alasan pemaaf. Sehingga jelas bahwa setiap orang tidak serta merta bisa dikatakan bersalah jika unsur dalam kesalahan tersebut tidak terpenuhi. Hal ini demi menjamin terciptanya kepastian hukum dalam penegakan hukum yang benar dan tepat.

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa hukum secara luas menjadi instrumen penting dalam mencapai tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Sedangkan hukum pidana adalah hukum yang secara khusus menangani setiap permasalahan yang berkenaan dengan hubungan antara orang dengan perorangan, orang dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, orang dengan negara, dan kelompok dengan negara.

Setiap permasalahan tersebut jika ditempuh melalui jalur pidana maka akan merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) serta peraturan-peraturan lainnya yang memuat ketentuan pidana. Walaupun demikian, masih saja terdapat pertanyaan pamungkas di masyarakat yakni hukum sebenarnya untuk siapa?

Kasus Hukum Penyiraman Air Keras Novel Baswedan

Masih teringat jelas dalam akal pikiran kita tentang kasus yang menimpa mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adalah Novel Baswedan yang 2017 lalu mengalami peristiwa yang sangat tidak berperikemanusiaan. Seperti yang diketahui bersama, sosok Novel terkenal tegas dan lugas dalam menangani perkara pidana yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi.

Ada banyak prestasi yang pernah ia peroleh sejak menyandang jabatan selaku penyidik KPK). Berikut beberapa kasus yang pernah ditangani oleh Novel Baswedan. Pertama, pernah berperan penting dalam menyidik, melacak dan membawa Nunun Nurbaeti yang kabur dari luar negeri terkait suap untuk 39 anggota DPR RI pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 Miranda Goeltom. Kedua, menyidik, melacak dan membawa M Nazaruddin yang kabur ke Cartagena Kolombia.

Ketiga, menyidik kasus suap proyek penyesuaian infrastruktur daerah yang menyeret politikus PAN Wa Ode Nurhayati dan Fahd A Rafiq, Ketua AMPG. Keempat, menyidik, melacak dan menangkap Bupati Buol Amran Batalipu.

Kelima, menyidik kasus suap anggaran Pekan Olahraga Nasional di Riau. Kelima, embongkar kasus jual beli perkara pemilukada yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Keenam, menyidik kasus simulator SIM yang menyeret mantan Kepala Korps Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Serta yang terakhir yaitu menyidik perkara dugaan suap dan gratifikasi Wakapolri Komjen Pol Budi Gunawan (Sumber: https://nasional.kontan.co.id/).

Prestasinya yang cukup luar biasa tersebut mengundang perhatian oleh berbagai kalangan. Tak terkecuali para pelaku yang kini telah ditangkap dan dijadikan terdakwa dalam kasus penyiraman air keras tersebut. Kedua pelaku memiliki insial RKM dan RB yang juga merupakan anggota Polri. Kedua pelaku penyiraman air keras itu ditangkap pada 26 Desember 2019.

Sedangkan kasus penyiraman air keras Novel Baswedan sendiri terjadi pada 11 April 2017. Jika dilihat dari rentetan waktu kejadian, maka dapat diketahui bahwa pelaku baru bisa ditangkap setelah hampir 2 tahun berlalu. Setelah sekian banyak reaksi masyarakat yang menuntut agar Pemerintah segera mengusut tuntas dalang penyiraman air keras tersebut.

Walaupun telah ditangkap 2 orang yang diduga pelaku tindak pidana penyiraman air keras, namun masih banyak kejanggalan yang mengundang stigma dari masyarakat dalam penanganan kasus Novel.

Seperti yang diketahui bersama, peristiwa penyiraman itu dilakukan pada saat Novel hendak menuju rumahnya selepas menunaikan shalat subuh di masjid dekat kediamannya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dari data yang terhimpun, diketahui bahwa pada saat itu Novel sedang berjalan kaki lalu tiba-tiba datang 2 orang yang mengendarai sepeda motor yang langsung menyiram air keras kepada Novel. Setelah kejadian tersebut, Novel langsung dirujuk ke Rumah Sakit di Singapura untuk menjalani serangkaian penanganan medis akibat luka yang dideritanya (Sumber: https://nasional.kompas.com/).

Namun, alangkah memprihatinkannya kasus ini adalah karena pihak Polri harus meminta bantuan dari Australia Federal Police (AFP) dalam rangka mempelajari gambar dari hasil rekaman CCTV yang ditemukan pada tempat kejadian perkara dengan tujuan dapat dijadikan sebagai barang bukti.

Sebelumnya, Polisi telah mengantongi sejumlah kisi-kisi atau sketsa wajah dari pelaku yang sebanyak tiga kali dirilis oleh pihak kepolisian. Dimulai pada 31 Juli 2017 sketsa wajah pertama dirilis oleh Tito Karnavian yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Kapolri. Kemudian sketsa kedua ditunjukkan oleh pihak kepolisian kepada KPK pada 24 November 2017. Serta sketsa yang ketiga dirilis pada 5 Januari 2018.

Keseluruhan sketsa tersebut menurut adalah berasal dari keterangan saksi (Sumber: https://www.riauonline.co.id/). Namun, setelah kedua pelaku tersebut ditangkap, justru masih mengundang keraguan dari masyarakat dan pengacara Novel Baswedan. Ia meragukan kecocokan antara sketsa dan pelaku yang ditangkap. Walaupun seperti itu, Polisii sebagai penegak hukum harus tetap menangkap keduanya agar bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih mendalam.

Jika memperhatikan beberapa rentetan peristiwa di atas, maka terlihat jelas adanya niat (dolus malus) dari si pelaku untuk mencelakai Novel. Sebab penyiraman ini dilakukan pada saat subuh yang seyogianya saat seperti itu orang sedang melaksanakan ibadah dan suasana masih gelap gulita.

Kita tahu, bahwa Presiden Joko Widodo awalnya sudah memberi perintah agar segera mengungkap dan mengumumkan pelaku penyiraman itu. Tentu pernyataan tersebut disambut baik oleh masyarakat. Dengan harapan agar pelaku yang sebenarnya ditangkap.

Karena kejadian ini sangat mengiris jiwa kemanusiaan kita. Terutama bagi kalangan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang senantiasa bersuara demi keadilan. Hukum memang sangat penting ditegakkan dalam menangani kasus pidana seperti ini, dan peran Pemerintah sangat diharapkan.

Sebab pemegang kekuasaan tertinggi dan mempunyai alat perlengkapan negara berada di tangan Presiden. Olehnya itu, Presiden sudah tentu harus melakukan tindakan yang manusiawi agar kasus Novel bisa terselesaikan sebagaimana yang semestinya.

Penanganan Kasus Novel Baswedan

Setelah melalui lika liku penyelidikan dan penyidikan, tibalah kita pada fase di mana kasus ini memasuki rana peradilan. Tepat pada 11 Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani kasus ini membacakan Surat Tuntutan terhadap kedua pelaku tersebut.

Sebelumnya, JPU telah melakukan persidangan dengan pembacaan dakwaan. Jenis Surat Dakwaan yang digunakan oleh Jaksa adalah dakwaan primair. Pembuktian dalam surat dakwaan ini harus dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan selanjutnya. Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan.

Pada kasus ini, JPU menggunakan Dakwaan Primair yakni Pasal 355 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP. Sedangkan dalam Dakwaan Subsidair, JPU menggunakan Pasal 353 ayat (2) jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Bunyi Pasal 355 ayat (1) KUHP yaitu “Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Sedangkan bunyi Pasal Pasal 353 ayat (2) Ke-1 KUHP yaitu “Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tuju tahun”. Kemudian untuk Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP sendiri merupakan pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana dengan penyertaan. Bunyi dari pasal tersebut yaitu “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: mereka yang melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan”.

Berdasarkan fakta persidangan, JPU menuturkan bahwa terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman cairan air keras ke Novel Baswedan ke badan. Namun mengenai kepala korban. Akibat perbuatan terdakwa, saksi Novel Baswedan mengakibatkan tidak berfungsi mata kiri sebelah hingga cacat permanen (Sumber: https://news.detik.com/). Sehingga menurut JPU terdakwa tidak memenuhi unsur dalam Dakwaan Primair, akan tetapi melanggar Dakwaan Subsidair.

Terlepas dari perdebatan unsur tindak pidana tersebut, terdapat ungkapan dari JPU yang saat ini menjadi lelucon hangat di kalangan akademisi hukum. Seperti yang dilansir oleh detik.com, dalam sebuah wawancara JPU mengatakan yang bersangkutan (pelaku) mengakui terus terang di dalam persidangan, terus kedua yang bersangkutan meminta maaf dan menyesali perbuatannya dan dia secara di persidangan menyampaikan memohon maaf kepada keluarga Novel Baswedan dan meminta maaf institusi polisi, institusi Polri itu tercoreng (https://news.detik.com/).

Pada tuntutannya, JPU menuntut para pelaku penyiraman air keras tersebut dengan tuntutan pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Alasan sehingga JPU memberi tuntutan yang sangat ringan adalah karena tindakan pelaku dianggap bukan penganiayaan berat. Selain itu, juga karena sebelumnya para terdakwa telah meminta maaf pada korban. Hal itulah yang menjadi pertimbangan JPU dalam memberikan tuntutannya terhadap pelaku.

Perlu kita ketahui bersama, baik dalam Dakwaan Primair maupun Dakwaan Subsidair tidak mengatur mengenai pidana minimum. Akan tetapi mengatur pidana maksimum yakni 15 (lima belas) tahun penjara untuk Dakwaan Primair dan 7 (tujuh) tahun penjara untuk Dakwaan Subsidair. Artinya, JPU memiliki opsi menuntut si pelaku dengan tuntutan di atas 1 (satu) tahun.

Karena sangat disayangkan kasus sebesar ini Jaksa hanya menuntut pelaku dengan penjara yang sangat singkat. Alasan yang digunakan JPU juga terbilang pragmatis, sebab pada prinsipnya seorang Jaksa dalam menuntut haruslah berdasarkan pertimbangan kekuatan alat bukti. Tapi dalam kasus ini, terlihat bahwa JPU berusaha bermain kata layaknya sebuah buku novel yang sangat menggugah untuk dibaca namun tidak mempunyai formalitas yang jelas.

Berbicara penilaian JPU dalam suatu perkara, telah dijelaskan oleh P.M. Trapman seorang ahli hukum dari Belanda. Bahwa JPU, dikatakannya: “Een subjectieve beoordeling van een objectieve positie” (sebuah penilaian subjektif dari sebuah posisi objektif).

Artinya, Jaksa adalah wakil negara untuk menegakkan hukum dan keadilan yang harus memberikan pertimbangan subjektif dengan mengedepankan nilai-nilai kepastian hukum. Jaksa harus independen dan tidak boleh berpihak pada kepentingan tertentu selain kepentingan ketertiban masyarakat.

Tentunya, kejadian ini akan menimbulkan degradasi kepercayaan pada penegak hukum khususnya Jaksa. Alasan sederhananya karena tuntutannya memang sangat ringan dan tidak rasional. Dibandingkan ganjaran yang harus dialami oleh seorang Novel yang kehilangan satu bola matanya secara permanen. Selain itu, pertimbangan mengenai permohonan maaf atau hal yang lainnya itu sudah menjadi tugas Majelis Hakim saat memutuskan.

Sekali lagi perlu ditegaskan, bahka JPU harus berucap berdasarkan kekuatan alat bukti. Bahkan yang sangat fatal adalah JPU tidak membicarakan mengenai bukti yang ada. Semata-mata menjelaskan keterangan terdakwa. Seakan JPU adalah pengacara terdakwa. 

Pada intinya, keadilan dan kemanusiaan adalah dua hal yang perlu diperjuangkan. Hal ini karena hukum telah menjaminnya. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Dari ketentuan dalam konstitusi terlihat jelas bahwa negara bertanggung jawab atas perlindungan terhadap warga negaranya. Jika negara lalai dalam melindungi warganya, atau tidak memberikan jaminan keamanan maka Pemerintah negara tersebut dianggap gagal dalam menjalankan amanat konstitusi.

Terlebih lagi yang berkenaan dengan keadilan serta perlakuan yang sama di muka hukum (equality before the law). Keadilan harus tetap ditegakkan, karena keadilan adalah to render to each man what is his due (memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya).

 

Penulis: M. Aris Munandar, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum/Kepidanaan Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan Aktivis Hak Asasi Manusia.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.