Thu, 12 Dec 2024
Esai / Muhammad Riszky / Dec 21, 2020

Sehat Mentalkah Pemuda Hari Ini?

Sejarah telah mencacat berbagai peristiwa penting yang dilakukan oleh pemuda dalam kemajuan bangsa Indonesia. Dimulai dari membangun semangat persatuan bangsa, terlibat dalam upaya kemerdekaan, menjadi mitra kritis pemerintah hingga reformasi. Pasca itu, pemuda bergerak sesuai dengan bakat dan minat masing-masing.

Bila merujuk Proyeksi Penduduk Indonesia yang disusun oleh Bappenas dan BPS, Indonesia mendapatkan bonus demografi dan mencapai puncak tahun 2028-2030. Kepala BPS, Suryamin mengungkap bahwa hingga tahun 2028-2030 orang produktif menanggung 44 orang nonproduktif. Usia produktif pada tahun 2030-2040 diprediksi mencapai 64 persen dari total penduduk yang diproyeksi sebesar 297 juta jiwa.

Begitu besarnya potensi usia produktif, tentunya pemuda sekarang yang akan berada menjadi pilar-pilar pembangunan bangsa ke depannya. Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, dr. Eni Gustina mengungkap bahwa untuk menjamin suksesnya bonus demografi, yang mesti menjadi perhatian serius yakni kesehatan mental.

Kondisi kesehatan mental pemuda

World Health Organization (WHO) melalui rilisnya Depression and Other Common Mental Disorder: Global Health Estimates pada tahun 2017 mencatat jumlah penduduk Indonesia yang mengalami depresi 3,3 persen atau sekitar 8.114.774 jiwa. Bila merujuk data dari Global Health Data Exchange, jumlah penderita depresi penduduk Indonesia rentang usia 15-34 tahun tahun 2017 sebanyak 2,37 persen.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI pada tahun 2018 menunjukkan prevalensi depresi penduduk usia 15 tahun ke atas berada pada 6,1 persen dan hanya 9 persen yang mendapatkan penanganan medis. Temuan lainnya, prevalensi gangguan mental emosional yakni 9,8 persen yang mengalami peningkatan dibanding tahun 2013 sebesar 6 persen.

Jika dibandingkan dengan negara lain, tingkat depresi penduduk Indonesia relatif lebih rendah. Walapun begitu, bukan berarti depresi sebagai masalah yang dikesampingkan. Salah satu dampak dari dari depresi itu sendiri yakni berpengaruh pada memori seseorang.

Sebuah studi longitudinal yang dilakukan oleh Amber John bersama 5 peneliti pada tahun 2019 mengungkap bahwa depresi yang dialami seseorang berusia 20an tahun berdampak pada menurunnya daya ingat saat memasuki usia 50 tahun. Studi dengan populasi 18.558 bayi yang lahir tahun 1958 dimuat dalam British Journal of Psychiatry.

Selain berpengaruh pada memori, dampak yang membahayakan depresi yakni keinginan atau bahkan melakukan bunuh diri.

Awal tahun 2019, Indonesia dihebohkan oleh kasus bunuh diri mahasiswa dengan menegak cairan arsenik di kamar kostnya. Sebelum melakukan bunuh diri, ia sempat curhat di media sosial tentang kondisinya. Cuitan yang sebenarnya menyiratkan ia mengalami depresi namun tidak direspon dengan baik. Barulah setelah kejadian tersebut banyak yang berkomentar mengenai tidak awarenya terhadap cuitan yang dibuatnya.

Kasus bunuh diri juga terjadi awal September lalu oleh seorang mahasiswa S2 ITB dengan cara gantung diri. Hasil temuan surat kontrol dari rumah sakit menunjukkan korban mengalami depresi. Sebelumnya, hanya rentang waktu 81 hari, 3 mahasiswa di salah satu universitas ditemukan tewas dengan cara gantung diri.

Melihat begitu bahaya dampak depresi terhadap perkembangan pemuda, seyogyanya menjadi perhatian serius dalam menyukseskan bonus demografi.

Hal yang dapat dilakukan

Sebuah penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Insook Lee bersama lima peneliti lainnya berjudul Effects of Forest Therapy on Depressive Symptoms among Adults: A Systematic Review tahun 2017 menunjukkan bahwa hutan dapat dijadikan sebagai sarana efektif dalam mengurangi depresi pada orang dewasa. Mengunjungi hutan selama dua belas menit hingga tiga jam dengan berjalan-jalan merupakan salah satu komponen utama dalam mengurangi depresi.

Temuan lainnya, selain berjalan dihutan, menggunakan panca indera seperti mendengar, menyentuh, mencium, hingga mencicipi dapat menjadi sarana dalam mengurangi depresi.

Seseorang mengalami depresi karena ketikdamampuan mengekspresikan emosi. Salah satu hal yang dapat dilakukan dalam mengekspresikan emosi yakni dengan menari. Hasil penelitian yang dilakukan Romina Tavormina dan Maria Tavormina pada tahun 2018 yang berjudul Overcoming Depression with Dance Movement Therapi menunjukkan bahwa melalui gerakan tarian spontan menjadi alat rehabilitasi untuk mengekspresikan emosi melalui tubuh.

Gerakan dalam tarian spontan dilakukan guna melepaskan emosi tanpa takut dihakimi orang lain, menghilangkan stigma dan prasangka masyarakat. Menari membuat suasana hati menjadi lebih positif dan kembali menemukan momen untuk bangkit dari keterpurukan.

Pemuda sekarang adalah harapan bangsa ke depannya. Mencapai itu, salah satu kuncinya adalah pemuda yang sehat mental!


*tulisan ini telah dimuat di harian Tribun Timur Makassar pada Oktober 2019, dimuat kembali untuk tujuan pendidikan. 

 

 

Penulis: Muhammad Riszky, sedang menyelesaikan skripsi, tukang buat stiker WA.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.