Siapa yang Akan Kita Salahkan?
“Ideologi adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda” ucap Soe Hoe Gie suatu ketika. Lalu kita bertanya, apa maksud ungkapan itu? Hanya saja, pemiliknya tak lagi mampu menjelaskan kepada kita. Bisa jadi, kalimat itu adalah permintaan pada pemuda/mahasiswa, agar kita terus merdeka, untuk terus berdiri dihadapan kemanusiaan, menjaga independensi dari ancaman uang dan jabatan. Sebab pemuda/mahasiswa adalah golongan yang belum terbebani dengan tuntutan kehidupan, dimana harus mencari uang untuk makan istri dan susu bayinya.
Tuntutan kepada kita tak lebih dari belajar, belajar dan bergerak memberi dampak. (Paling tidak untuk kita yang beruntung bergelar mahasiswa, sebab digang-gang kota, dipelosok-pelosok desa, dipinggir tapal batas negara, jutaan pemuda masih harus bergulat dengan hidup yang berat, tak bisa bersekolah karena biaya yang orang-tuanya tak mampu angkat).
Katanya, menjadi mahasiswa adalah kehormatan, karena kita adalah kandididat cendekia yang akan mengkonsep peradaban dimasa depan. Mahasiswa adalah manusia-manusia pencerah yang mapan secara pengetahuan dan kejiwaan, yang peka akan masalah-masalah sosial dan punya segudang ide untuk menuntaskannya. Paradigma ini muncul dari pandangan kampus jua, dimana setiap fakultas bagai laboratorium raksasa, tempat gagasan berdialektika dan diuji coba, dimana pengetahuan disuguhkan bagai santap siang dengan menu beragam setiap harinya.
Mahasiswa bebas mengambil berarapun pengetahuan yang mereka inginkan, sebab akan berbanding lurus dengan tupoksinya kelak dimasyarakat dan jalanan. Dengan banyaknya suguhan pengetahuan untuk mahasiswa, tak salah jika rakyat berharap besar dan menaruh mimpi-mimpinya dipundak kita. Generasi cerdas yang melek teknologi, yang bertindak atas hati nurani, yang mengutamakan kemaslahatan di atas kepentingan, yang siap sedia menjadi garda terdepan ketika rakyat dirongrong kegelisahan.
Setiap tahun bangsa ini mengukuhkan ribuan ekonom hebat, ribuan teknokrat, ribuan arsitek, ribuan praktisi kesehatan, ribuan hakim, ribuan pendidik, serta ribuan-ribuan lainnya. Mereka adalah mahasiswa yang cakap dibidang ilmunya masing-masing, sehingga gelar dibelakang namanya petanda sebuah pengetahuan nan luas beriring gagasan perubahan. Hanya saja harapan itu bagai utopi, kemiskinan masih merajalela, anak pelosok masih tak sekolah, hukum masih timpang, kesehatan masih barang langka bagi orang tak punya. Lalu dalih bahwa indonesia dipenuh orang jahat dan serakahpun tercipta, seolah negeri ini adalah surga yang dihuni penduduk neraka.
Tapi penulis percaya, selagi ia manusia, kebaikan tetap ada dalam dirinya, seberapapun kecilnya, yang dianggap jahat dan serakah bisa jadi sedang keliru dalam melangkah. Selain pembenaran muncul juga pertanyaan, lantas apakah mahasiswa masih berguna? haruslah itu menjadi jeweran ditelinga kita untuk kembali bertanya.
Sejenak cerita. Dalam suatu demonstrasi yang diikuti segelintir mahasiswa, jumlahnya dapat dihitung jari, orator maju lalu kebingungan dengan apa yang dilihatnya. Ia bertanya-tanya, apa yang membuatmu apatis wahai mahasiswa? apakah sistem settingan birokrasi munafik, dosen tak berintegritas yang tak becus mendidik, atau memang IQmu terlalu jongkok untuk melakukan kritik? Apa yang membuatmu hedonis wahai mahasiswa? Apakah gedjet mahal yang dipenuhi media sosial, cafe-cafe dan mal yang dipunuhi makanan-minuman mahal, atau kesenangan bercinta dengan kekasih yang bahkan belum halal? Entahlah. Kurenungkan semua kalimat yang melintas itu. Mari sama-sama berfikir.
Setangah abad lebih mahasiswa datang di dinegeri ini, menjadi pelita untuk menyinari kegelapan dan tangisan, sebagian dari mahasiswa sukses mengatur tanah petani dan pemodal dengan adil, memeriksa kesehatan rakyat tanpa tebang pilih, menjatuhkan hukum tanpa tumpang tindih, memimpin dengan bijaksana sepunuh hati. Namun mengapa masalah-masalah itu tak kunjung usai? Apakah mahasiswa yang lahir setiap tahun masih kurang? Apakah masalah yang dihadapi terlalu berat? atau mahasiswa telah berkhianat dengan menjadikan kepentingan pribadi sebagai tujuan utama? Entahlah. Mari sama-sama bertanya.
Mungkin jawabannya begini, Berapa banyak buku yang telah kita baca selama bergelar mahasiswa? Berapa ruang diskusi/kajian yang kita datangi? Jika kurang, pantaslah jiwa kritis dan kepekaan itu hilang. Berapa banyak aksi sosial, juga aksi demonstrasi yang kita ikuti? Seberapa sering kita menjenguk masyarakat desa, jelata, anak jalanan, rakyat miskin perkotaan untuk sekedar berbagi cerita dan ceria? Jangan sampai hanya pada saat KKN saja.
Bagi penulis yang hilang ditengah-tengah mahasiswa ialah semangat pengetahuan yang mengajarkan kepekaan atas dasar keadilan, kritik yang beradab, keberanian yang sehat, kepedulian penuh cinta dan semangat bergerak untuk kemanfaatan. Lalu siapa yang akan kita salahkan atas degradasi ini? Apakah mahasiswa? Mantan mahasiswa yang menjadi dosen? Mantan mahasiswa yang menjadi birokrasi? Atau mantan mahasiswa yang menjadi pemimpin negeri? Siapa?.
Sejenak ilustrasi. Terkadang mahasiswa bertindak tanpa pemikiran matang, itu benar. Pemimpin negeri yang salah faham, melihatnya sebagai ancaman kekacauan, ia instruksikan birokrasi bekerja keras mengamankan, hingga birokrasipun kewalahan dan kelelahan, dimintanyalah para dosen membantu, lalu mereka bekerja sama untuk meredam gejolak mahasiswa, isyarat itu berlanjut kemateri kuliah. Diajarkanlah mahasiswa agar tak banyak bicara, disuguhkan juga doktrin agar mahasiswa fokus belajar hingga sarjana lalu mencari kerja.
Doktrin selanjutnya, jangan lupa keluarga di rumah, kalian harus sukses untuk membahagiakan mereka, seolah masyarakat sebangsa setanah air, masyarakat yang hidup di gubuk lapuk, di bawah jembatan, dan diemperan pertokoan bukan keluarga juga. Masalahnya, jika mahasiswa menjadi pragmatis seperti itu, lalu kaum-kaum marginal yang terkucilkan bagaimana? Haruskah mereka menunggu tuhan turun dari langit sekedar untuk memberinya makan enak, atau haruskan mereka mati dulu untuk hidup layak?
Doktrin itu kian mengakar, sebagian mahasiswa ada yang patah namun ada pula yang bertahan. Muncullah sekat-sekat sektoral, terpecahlah mahasiswa dalam berbagai warna, rona, budaya, karakter dan tujuan. Mahasiswa yang sering demo dijudge kumpulan binatang-binatang liar oleh akademisi, sedang akademisi bagai daging berjalan tanpa nurani dimata aktivis, penggiat literasi dinilai hanya cari eksistensi, penggiat seni dianggap kumpulan lagu-lagu tanpa arti, penggiat dakwah dikata pencari tuhan yang lupa bahwa sedang berpijak dibumi.
Lalu perubahan apa yang bisa kita berikan kepada negeri, saat konflik horizontal terus terjadi, mahasiswa saling menyalahkan, membuat kubu-kubu yang enggan menyatu dan saling membantu.
Kemudian tahun berganti, mahasiswa yang telah dicengkoki kembali masuk kampus sebagai dosen pemberi materi. Tak tanggung-tanggung, yang diajarkan kian menakutkan dan kejam. Sebelumya ia bagai kertas putih, sangat polos dan bersih, tapi ajaran kampus mewarnainya dengan kebenaran yang berbeda. Maka dialektika gagasan kian terkikis, tak ada lagi diskursus, pemikiran kritis menjadi barang langkah yang menipis, intervensi dari segala arah mendatangkan lara, mahasiswa tak tau lagi berbuat apa, mereka hanya mendengar dan ikut arus.
Sekali lagi, siapa yang akan kita salahkan untuk degradasi yang mengakuisisi? Apakah mahasiswa, dosen, birokrasi, atau pemimpin negeri? Tidak, tidak seorangpun, mereka semua berniat menjaga dan memperbaiki negeri ini? Hanya saja, sudut letaknya melihat berbeda-beda. (paling tidak itu yang penulis fikirkan, meski akan sangat banyak bantahan).
Lalu bagaimana solusinya? Mari saling memahami, mari lebih membudayakan diskusi, sebab beberapa hal memang akan lebih nyaman dihadapan kopi, mari menanggalkan ego pribadi, bahwa strata bukan penentu kebenaran manusia, mari membuka mata, telinga dan hati, sebab semua dari kita berkemungkinan salah dalam menanggapi, tak ada yang selamanya benar dibawa matahari ini.
Yang jelas, jika ayah ibunda dosen, birokrasi, atau pemimpin negeri mendapati mahasiswa keliru dalam bertindak, jangan cepat naik pitam, lihatlah dibalik itu semua, ada niat baik untuk membantu sesamanya. Banggalah, bahwa kalian berhasil mendidik anak-anak yang diliputi oleh cinta, mereka mungkin nakal, kalimat yang dilontarkan kadang tak nyaman didengar, tapi jangan lupa, mereka adalah jiwa muda dengan semangat membara, maklumilah, didiklah.
Untuk seluruh mahasiswa, benar tugas kita adalah belajar, tapi jangan lupa aplikatiflah dalam realita, ilmu yang kita dapat tak akan bernilai apa-apa, jika hanya terkungkung dalam tempurung kepala. Aktif bertanya dikelas pada pelajaran yang belum dimengerti sangatlah bagus, namun sesekali pertanyakanlah nasib rakyat juga, tempat dimana kita berasal. Mari mengingat, bahwa mereka adalah kewajiban kita untuk dirawat.
Perjuangan mahasiswa tidak sebatas menggapai toga dengan nilai di atas rata-rata. Tugas kita lebih dari itu, yakni mencipta keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam kehidupan bersosial, bermasyarakat. Tugas kita akan sangat berat, tapi kita pasti bisa, sebab kita mahasiswa. Mari mengawal rakyat yang buta, membimbing mereka yang tuli, mengangkat mereka yang lumpuh. Teruslah mengingat bahwa kita bagian dari mereka, ayah, ibu, kakak, adik, tante, paman, kakek, dan nenek kitalah yang buta, tuli lagi lumpuh itu. Jangan biarkan mereka tak terurus, jangan biarkan mereka ditindas terus.
Jika kau sedih menangislah, aku akan menangis bersamamu? Saat itu, kita akan berkawan selamanya. Opini ini ditulis oleh seorang mahasiswa yang tak kuasa membantu membayarkan spp adiknya untuk berkuliah.
Penulis: Muh Arjun Wiraya, mahasiswa UINAM dan aktif berorganisasi di HMJ Keperawatan, SC.Supremasi Kesehatan, Kesatuan Mahasiswa Nusantara (KMN)