Skrip Curhatan: Kecemasan Matematika dan Expressive Writing
Beberapa minggu belakangan ini, saya kembali mencoba sibuk dalam mengerjakan skripsi yang sempat mati suri. Saya mungkin tidak mengerti kenapa kembali semangat mengerjakan setelah tertunda selama kurang lebih 5 bulan. Saya menduga, karena di momen inilah saat yang tepat dan terasa semuanya terhubung untuk bangkit mengerjakan skripsi.
Mengapa kira-kira?
Pertama, beberapa hari belakangan saya kembali teringat masa-masa SMA. Ya, minggu lalu di grup whatsapp kelas SMA, salah seorang teman mengirimkan pamphlet tentang pernikahan teman kelas kami. Dan tahukah bahwa teman kami itu lulusan Jurusan Matematika di kampus yang sekarang saya menempuh studi. Bahagianya karena teman kami menikah dengan sesama dari jurusan matematika, masyaallah. Sekadar info, pestanya insyaallah dilaksanakan besok. Semoga sakinah, mawaddah, warohmah. Aamiin.
Kedua, saya masih seputar grup whatsapp, di grup Math UH banyak membahas seputar alumni, dan info seputar pekerjaan. Ouh iya, sebelum mengambil psikologi, saya sempat menempuh studi matematika di kampus merah. Perbincangan di grup itu membuat saya sedikit tersadar (tetiba bohlam menyala), dan ternyata hampir semua penghuni grup itu telah berlanjut ke jenjang berikutnya.
Ketiga, desakan yang semakin kencang (ini pun juga dialami oleh beberapa teman saya dan para pembaca sekalian, kah?). Belum lagi teman-teman seangkatan di kampus yang mulai berkurang, dan ketika bertemu dengan adik angkatan, kak, sampai manamki? (sudah sampai dimana?)Untung masih ada teman angkatan yang selalu menyemangati dengan berkata, janganmko buru-buru (tidak usah terburu-buru), masih ada beberapa semester. Hhmm, saran yang baik.
Keempat, cukup sampai tiga saja.
Itulah 4 alasan yang kira-kira membuat saya kembali on fire mengerjakan karya akhir kita sebagai mahasiswa S1.
Sorry karena curhatnya lumayan panjang. Mari ke topik tentang kecemasan matematika dan expressive writing yang menjadi domain dari skripsi saya.
Pernah tidak, waktu kita masih bersekolah, teman-teman kita atau bahkan kita sendiri takut akan pelajaran matematika? Mencoba berusaha menghindari pelajaran matematika, menggunakan jurus mencontek dengan teman yang exprert matematika saat ujian, atau bahkan setelah masuk di perkuliahan, memilih jurusan yang jauh dari matematika, padahal nyatanya proses perkuliahannya masih berkecimpung dengan matematika? Adakah?? (dengan stiker whatsappnya Akram)
Padahal matematika bermanfaat bagi kita, salah satunya menurut Tatiana, Murnaka, dan Wiyanti dalam penelitiannya tahun 2018 mengungkap bahwa melalui matematika, kita dilatih untuk berpikir kritis, logis, dan mampu meningkatkan kreativitas. Belum lagi jika merujuk pemaparan dari Wigati dan Sutriyono tahun 2017 bahwa dengan belajar matematika akan mengoptimalkan fungsi otak kiri dan otak kanan.
Apapun manfaatnya, beberapa orang menganggap matematika sebagai momok yang sepatutnya dihindari. Hal itu yang dapat kita sebut sebagai bentuk kecemasan matematika.
Lantas, apa itu kecemasan matematika?
Ashcraft, sebagai salah satu tokoh yang banyak meneliti tentang kecemasan matematika mendefenisikan kecemasan matematika sebagai perasaan tegang, gelisah atau takut yang mengganggu kinerja matematika. Rasa yang muncul tersebut membuat kita untuk tidak maksimal atau bahkan menghindari matematika.
Suminta dalam disertasinya pada tahun 2014 mengungkap beberapa faktor yang dapat menimbulkan kecemasan matematika, yakni lingkungan dan teman sebaya. Faktor lingkungan meliputi dukungan akademik orang tua, dukungan akademik teman sebaya dan iklim kelas. Apabila dukungan dari orang tua, teman sebaya rendah, maka kita cenderung cemas terhadap matematika. Begitupun dengan iklim kelas, seperti metode pembelajaran, interaksi pengajar dapat berpengaruh terhadap kecemasan matematika.
Selanjutnya faktor teman sebaya yakni efikasi diri dan flow. Efikasi diri merupakan kepercayaan kita akan kemampuan yang dimiliki dalam melakukan atau menjalani sesuatu. Sedangkan flow adalah kondisi di mana kita fokus dalam aktivitas yang membuat tidak ada hal lain yang dapat menganggu aktivitas kita. Jadi, semakin tinggi efikasi diri dan flow maka kecemasan matematika kita juga rendah, begitupun sebaliknya.
Lantas, bagaimana cara menurunkan kecemasan matematika?
Upaya dalam mengurangi kecemasan matematika yakni dengan terbuka mengenai kecemasan itu sendiri. Terbuka mengenai kecemasan matematika yang dialami sangat penting karena memberikan umpan balik pada lingkungan kita. Terbuka mengenai kecemasan dapat dilakukan dengan menulis. Menulis membantu kita mengontrol emosi dengan mengubah pengalaman dalam bahasa maupun kata-kata yang dituliskan. Menulis membantu dalam mendapatkan wawasan mengenai penyebab dan pengurangan kecemasan. Salah satu yang dapat dilakukan yakni melalui metode expressive writing.
Expressive writing pertama kali diperkenalkan oleh James W. Pennebaker yang berfokus pada individu dalam meningkatkan emosi melalui kegiatan menulis. Expressive writing sebagai tulisan yang mencerminkan pikiran dan perasaan tentang pengalaman hidup otentik yang telah dialami. Travagin, Margola dan Revenson dalam penelitiannya tahun 2014 menjelaskan bahwa metode expressive writing dirancang untuk meningkatkan ekspresi dan proses emosional yang dapat meningkatkan kondisi psikologi maupun juga kesehatan.
Seiring banyaknya penelitian yang menggunakan expressive writing dalam mengurangi berbagai masalah psikologis, penelitian yang mengaitkan expressive writing dalam menurunkan kecemasan matematika juga dilakukan.
Penelitian yang dilakukan Ramirez dan Beilock tahun 2011 menunjukkan dampak positif expressive writing bermanfaat dalam meningkatkan kinerja matematika dengan mengurangi pikiran dan kekhawatiran yang mengganggu, sehingga perlunya intervensi expressive writing. Hines, Brown dan Myran tahun 2016 juga menggunakan metode expressive writing dalam menurunkan kecemasan matematika pada siswa SMA, berdampak pada peningkatan hasil belajar matematika setelah melakukan expressive writing.
Bagaimana cara melakukan expressive writing?
Jika kita merujuk pada paradigma Pennebaker, metode expressive writing dapat dilakukan tiga sampai lima hari berturut-turut dengan durasi lima belas hingga tiga puluh menit setiap sesinya. Menulis dilakukan pada kertas dengan menggunakan alat tulis. Topik menulis bebas terkait pengalaman yang dirasakan, namun di beberapa penelitian, kita dapat menentukan topik setiap sesinya.
Metode expressive writing membantu kita untuk meluapkan perasaan dan pikirannya secara emosional secara bebas tanpa adanya kritikan, pembalasan maupun judjement dari orang lain. Proses yang didapatkan selama intervensi expressive writing membuat kita mendapatkan insight yang membantu menjadi lebih sadar mengenai pikiran, perasaan dan kemampuan.
Jadi akankah kita mencobanya? Atau akankah kita menyerankan kepada orang yang cemas terhadap matematika?
Akhirnya, semoga curhatan dari tulisan ini membuat saya tetap on fire mengerjakan skripsi saya. Daoakan nah. Sekian!
Penulis: Muhammad Riszky, mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Makassar, kenyang di dunia per-BEM-an, berliterasi di komunitas Stimulus Paradigma sembari menjadi tukang buat dan sebar-sebar pamplet.