Suaramu Tak Lagi Berarti
Perjuangan mahasiswa dan masyarakat dalam menyuarakan aspirasi, sepertinya hanya sebatas sedimentasi yang tak berarti bagi pemegang kendali negeri Insulinde ini. Demokrasi tak ubahnya hanyalah sebatas karikatur oligarki yang semakin menekan laju kebebasan berpendapat.
Kalkulasi hak asasi menjadi hitung-hitungan kapitalis dengan berbagai macam slogan kebohongan. Padahal demokrasi tanpa pemenuhan hak asasi, layaknya kapal tanpa nakhoda. Keduanya harus beriringan satu sama lain. Jika melihat keadaan hari ini, kita sedang dipertontonkan segenap kepongahan penguasa menikmati sokongan ide-ide kapitalis yang justru menjerumuskan pada hilangnya marwah demokrasi. Suara-suara yang terdengar di jalan seakan tenggelam oleh gemerlap pengesahan rancangan undang-undang.
Mereka yang mengatasnamakan aspirasi, hak asasi dan demokrasi, dianggap tak tahu apa-apa. Sedangkan mereka yang mendukung laju perselingkuhan oligarki dan kapitalis pengrusak alam justru mendapatkan kenikmatan kuasa. Rakyat menjadi bingung, masihkah kita dianggap ada? Masihkah kita berarti baginya? Ataukah kita hanyalah sebatas kalkulasi suara politisi dipemilihan umum saja?.
Masih teringat dengan jelas tragedi pergolakan mahasiswa pada September 2019 lalu. Sebongkah rancangan undang-undang (RUU) menimbulkan banyak kecaman yang luar biasa dari berbagai kalangan. Sialnya, bangsa yang katanya demokratis dan etis ini justru menerjunkan para serdadu-serdadu pengayom rakyat untuk melawan rakyat. Rakyat hanya menyuarakan soal RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini telah menjadi undang-undang, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Pertanahan, dan masih banyak lagi.
Dari data yang diberikan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), setidaknya terdapat 42 orang meninggal dunia sepanjang bulan September 2019. Rinciannya yakni demo 24 September 2019 yang bertajuk ‘Reformasi Dikorupsi’ terdapat 3 (tiga) orang mahasiswa meninggal dunia tanpa keterangan resmi. Demonstrasi 26 September 2019 bertajuk ‘Reformasi Dikorupsi’ menyebabkan 2 (dua) orang meninggal dunia di Kendari akibat luka tembak. Dan aksi anti rasisme di Wamena dan Jayapura pada 23-28 September 2019 memakan korban jiwa hingga 37 orang meninggal dunia tanpa informasi yang resmi pula (Sumber: https://www.bbc.com/).
Tragedi itu ternyata bukan menjadi titik akhir dari perjuangan para kaum yang menamakan dirinya aktivis. Memasuki tahun 2020, sang Presiden dari negeri yang katanya beradab ini, bekerja sama dengan para politisi yang menganggap dirinya wakil rakyat menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Adalah RUU Cipta Kerja atau lazim disebut Omnibus Law UUCipta Kerja yang kini telah sah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Undang-undang sapu jagat ini bukan hanya memuat substansi yang kontroversial, juga prosedur pembentukannya seakan tertutup, tergesa-gesa. Entah apa yang dikejar oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Sektor pertanahan yang dulunya dikecam habis-habisan oleh aktivis reforma agraria justru dituangkan secara indah semampai di dalam UU Cipta Kerja.
Sektor ketenagakerjaan juga sangat mengecewakan bagi kaum buruh, apatah lagi sektor lingkungan hidup yang seakan berusaha dihilangkannya peran serta masyarakat dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Alangkah lucunya pemangku kebijakan yang katanya kalangan intelektual itu, justru membentuk hukum yang berkali-kali revisi layaknya mahasiswa yang sedang menjilat Dosen Pembimbingnya agar segera menyelesaikan tugas akhir.
Teringat bagaimana kebiasaan para pemimpin yang otoriter. Sumber kebenarannya hanya pada sang penguasa. Pantas kiranya menyimak perkataan salah satu pembantu Presiden Joko Widodo, yakni Johnny Plate selaku Menteri Komunikasi dan Informasi. Ia berucap dengan kuasanya dalam sebuah acara televisi setelah diserang argumen dari BEM Seluruh Indonesia terkait demo mempersoalkan pernyataan pemerintah yang menyebut masyarakat banyak termakan hoax atau disinformasi soal UU Cipta Kerja. Lantas sang menteri ini menjawab “kalau Pemerintah bilang hoax, ya hoax”. (Sumber: https://news.detik.com/berita/d-5219872/diserang-desmond-ini-respons-menkominfo-johnny-plate). Ucapan tersebut terlontar dari mulut seorang menteri dari negara yang katanya demokrasi. Tapi, siapa yang berani menafsirkan ucapan itu?
Hingga diundangkannya, UU Cipta Kerja telah megalami tiga kali revisi. Masing-masing mengalami perubahan jumlah halaman. Revisi pertama termuat sebanyak 905 halaman. Revisi kedua sebanyak 812 halaman. Dan terakhir sebanyak 1187 halaman. Pada saat ketuk palu di Rapat Paripurna penetapan RUU Cipta Kerja (5 Oktober 2020) menjadi undang-undang, naskah yang disepakati yakni sebanyak 905 halaman. Akhirnya masyarakat bingung harus melihat dan membaca yang mana.
Seakan keputusan dalam Rapat Paripurna tidak memiliki kedudukan dan kekuatan sama sekali. Sebab, naskahnya mengalami revisi setelah rapat tersebut. Ada yang berusaha menggunakan filibuster untuk mencegah penetapan itu, namun juga gagal. Masyarakat menjadi bingung tak terbendung. Bukan resah, tapi ibah. Pasalnya, kerinduan intelektualitas masyarakat kepada pejabat justru dibatalkan oleh peristiwa UU Cipta Kerja ini.
Kualitas sang wakil rakyat bersama sang pemimpin bangsa beserta pion-pionnya menjadi diragukan, khususnya oleh kalangan akademika hukum. Mau dibawa ke mana arah hukum di negeri ini, jika kelakuan para penguasa dan pemangku kebijakan tak ubahnya seorang kakostokrasi. “Demi emas sebatang, hilang seribu kepercayaan”.
Salah dan benar kini menjadi suram, yang benar tidak berdaya, yang salah tidak bisa digambarkan. Bangsa ini hampir kehilangan arah. Pergerakan mahasiswa dianggap remeh, masyarakat dianggap tak tahu apa-apa. Merdeka mungkin pilihan, tapi rakyat masih bingung tentang keberadaannya di negerinya sendiri.
Antara ada dan tiada. Antara berarti dan tersakiti. Teringat ucapan Tan Malaka, “Kemerdekaan rakyat Indonesia baru tercapai bila kemerdekaan politik 100% berada di tangan rakyat Indonesia....”. Ungkapan yang sudah sangat kuno, namun masih berarti, bahkan menjadi inspiratif. Tangan rakyat yang diwakilkan kepada sang Dewan Perwakilan Rakyat justru tak berdaya.
Genggamannya mulai goyah dan payah, oleh karena kepentingan investasi yang diperjuangkan oleh Pemerintah. Yang miskin semakin miskin. Yang kaya semakin kaya. Yang berkuasa semakin bergaya. Rakyat hanya bisa menikmati, berbagai celotehan politik di muka-muka oligarki. Kapan dan di mana cahaya kebenaran itu ditemukan masih menjadi tanda tanya.
Masih dalam situasi yang mencekam karena Covid-19, isu pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kian menarik perbincangan. Belum pulih kesakitan bangsa ini oleh Omnibus Law. Layak kiranya Pilkada ditunda pelaksanaannya hingga luka hati dari masyarakat Indonesia ini pulih. Kita berhenti sejenak berkontestasi.
Mari mencari solusi. Atasi Covid-19, lalu atasi kebebalan oligarki. Jika pelaksanaan tata negara Indonesia masih seperti ini, kita tidak bisa menebak apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Yang jelas, sebagai kaum intelektual sudah bisa menggambarkan bahwa pernah ada rezim dalam negeri ini yang memaksakan kehendak dalam sebuah kebijakan, walaupun darah berceceran di jalan. Namun, untuk apalagi perjuangan jika tak pernah dianggap ada dan berarti? Pertanyaan ini dilontarkan oleh seorang apatis.
“Suara Senyap yang Perlahan Lenyap”
Aku adalah suara cinta yang menjelma kuasa
Aku dititipkan doa dan daya
Aku semestinya bermanfaat bagi mereka
Aku bimbang antara memilih diam atau bernyanyi dengan gulita
Ia memang suara yang ditunggu berkicau
Ia tak ubahnya penjilat yang mengidamkan bangku
Bangku kenikmatan sesaat dan sesat untukmu
Ia tuli dan sama sekali tak mendengarku
Aku kini hanya menjadi pejuang bagi cinta yang tak berarti
Meskipun asa tak pernah berhenti menyelimuti
Dan resah kian menyetubuhi ide revolusi
Antara iya atau tidak?
Antara diam atau melawan?
Antara tunduk atau tertindas?
Jika kau berniat melupakan perjuangan
Hapuslah terlebih dahulu sejarah reformasi dan kemerdekaan
Jika kau berniat membungkam suara sang visioner
Hapuslah terlebih dahulu slogan demokrasi yang kau banggakan
***
Penulis: M. Aris Munandar, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin dan penulis.