Mon, 17 Feb 2025
Esai / Muh. Anshary / Jan 25, 2025

Sudut Pandang Psikologi: Pajak dan Keadilan

Hiruk pikuk soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik dari 11 persen menjadi 12 persen  yang walaupun telah diumumkan tidak akan naik secara menyeluruh dan hanya barang mewah  yang akan dikenakan aturan baru tersebut nampaknya masih banyak yang belum memahami  persoalan dasarnya. Salah satu penyebab utama PPN dinaikkan adalah karena rasio pajak (tax  ratio) Indonesia yang masih dianggap rendah. Lantas apakah rasio pajak itu? 

Rasio Pajak 

Dilansir dari laman resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia (RI) rasio pajak  merupakan perbandingan antara penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu  negara dalam periode yang sama. 

Sederhananya, bayangkan ekonomi adalah sebuah kue ulang tahun besar yang terbuat dari semua  aktivitas ekonomi di suatu negara (Dikenal sebagai PDB). Jadi, rasio pajak dapat menunjukkan  berapa bagian kecil dari kue itu yang berhasil dikumpulkan oleh negara sebagai pajak. 

Indikator ini sering digunakan untuk melihat efektifitas sebuah negara dalam mengumpulkan  pajak dibandingkan dengan ukuran ekonominya. Secara teori, semakin tinggi rasio pajak, maka  akan semakin tinggi kemampuan pemerintah untuk membiayai kebutuhan publik seperti  pendidikan, kesehatan maupun infrastruktur. 

Lebih lanjut dijelaskan bahwa idealnya rasio pajak berada di angka 15 persen. Sedangkan,  mengutip Tempo, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani menyebutkan bahwa rasio pajak Indonesia  saat ini hanya 10 persen. Sebagai perbandingan, rasio pajak Brasil berada di angka 25 persen,  Afrika Selatan 21 persen, dan Filipina 12 persen. 

Faktor Resistensi Kenaikan Pajak 

Namun, mengapa rasio pajak Indonesia rendah? Salah satu penyebabnya terletak pada kepatuhan  pajak, yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, namun faktor psikologis juga  memainkan peran yang cukup besar. Utamanya terkait persepsi masyarakat soal keadilan yang  memengaruhi kepatuhan. Dalam Psikologi, keadilan dibagi menjadi tiga, yaitu distributive,  procedural dan retributive justice. 

Dalam handbook berjudul Economic Psychology, pada chapter Tax Behaviour dijelaskan bahwa distributive justice terbagi lagi menjadi tiga, yaitu horizontal, vertical dan exchange fairness.  Horizontal fairness merupakan keadilan pembagian beban pajak antar individu dengan  pendapatan yang sama, sedangkan vertical fairness merupakan keadilan beban pajak antar  kelompok dengan kemampuan finansial yang berbeda.

Exchange fairness merupakan keseimbangan antara beban pajak yang masyarakat bayarkan dengan manfaat publik yang  didapatkan. 

Karya tahun 2018 itu lebih lanjut menjelaskan bahwa procedural justice merupakan keadilan  yang menitikberatkan pada proses pengambilan keputusan terkait pajak. Memiliki rasa  keterwakilan dalam penentuan kebijakan pajak dan transparansi merupakan dua aspek penting  dalam variabel ini.

Sedangkan, retributive justice merupakan keadilan yang berbentuk hukuman  kepada pelanggar pajak. Hukuman yang setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan dan  hukuman yang secara konsisten diterapkan menjadi aspek penting dalam rasa keadilan ini. 

Semakin tinggi ketiga hal tersebut, maka semakin tinggi kepatuhan masyarakat untuk membayar  pajak. Ketiganya memengaruhi bagaimana masyarakat menilai keadilan khususnya terkait pajak.  Namun, melihat kondisi saat ini, maka tidak heran mengapa resistensi terhadap kenaikan pajak  lebih sering terjadi. 

Viralitas Kasus dan Rasa Ketidakadilan 

Kasus seorang anak yang viral dan menyeret orang tuanya, pada akhirnya diketahui mobil  mewah yang dimilikinya terdaftar atas nama orang lain dan harta lainnya dianggap sebagai hasil  gratifikasi. Kasus tersebut membuka mata publik, karena Bapak dari anak itu adalah seorang  pejabat pajak yang justru berusaha menghindari pajak.

Selain itu, penulis percaya bahwa Ini  hanyalah puncak gunung es dari sebuah masalah yang lebih besar, karena setelah kejadian  tersebut banyak mobil mewah serupa yang dijual di online shop. 

Selanjutnya, kasus korupsi juga kerap kali terjadi bahkan seolah dinormalisasi. Ambil contoh  kasus terakhir, merugikan negara hingga ratusan triliun, namun hanya mendapatkan masa  tahanan yang dianggap tidak setimpal jika dibandingkan dengan pencuri biasa yang kerap kali  mendapatkan hukuman tahanan yang lebih lama. 

Kondisi lain yang tidak kalah adalah belanja pegawai. Dilansir dari CNBC Indonesia bahwa  sebagaimana yang tertera dalam Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN Tahun Anggaran 2025  belanja pegawai sebesar 513 Triliun naik 11 persen dari rancangan awal, yaitu 460 Triliun.

Hal ini kerap kali dikaitkan dengan fasilitas mewah yang sering kali didapatkan para pejabat seperti  mobil dan rumah dinas yang jumlahnya bisa lebih dari satu dan biaya pemeliharaannya juga  tidak ditanggung oleh mereka. 

Pada saat bersamaan masyarakat sedang mengalami ketidakpastian ekonomi, daya beli menurun,  deflasi, bahkan biaya kuliah yang tetap melambung tanpa intervensi berarti dari pemerintah.

Fenomena-fenomena ini turut banyak membuat pandangan masyarakat terkait keadilan menjadi  rendah. Hal ini tentu akan menyeret kepercayaan (trust) publik yang rendah pada pengelolaan  pajak itu sendiri. Padahal penelitian telah membuktikan bahwa persepsi keadilan yang tinggi  dapat meningkatkan kepatuhan pajak. 

Hasil Penelitian

Penelitian berjudul Combining Psychology and Economics in the Analysis of Compliance: From  Enforcement to Cooperation tahun 2012 menunjukkan bahwa persepsi keadilan yang tinggi  dapat meningkatkan kepatuhan membayar pajak. Penelitian lain yang dilakukan Herman dan  koleganya pada tahun 2023 juga menunjukkan hal serupa, bahwa keadilan berpengaruh  signifikan terhadap kepatuhan pajak. 

Artinya, semakin tinggi persepsi keadilan yang masyarakat miliki, maka akan semakin tinggi  tingkat kepatuhan pajak sukarela. 

Penutup 

Sebagai penutup, walaupun PPN 12% pada akhirnya tidak naik secara umum, namun penolakan  publik terhadap kenaikan pajak tentu akan terus berulang. Resistensi tersebut wajar saja terjadi  jikala rasa keadilan tak pernah benar-benar mewujud. 

Pada akhirnya rasa keadilan akan selalu bermuara pada rasa kepercayaan. Jadi, kesempatan ini  dapat menjadi bahan evaluasi yang konstruktif bagi pemangku kebijakan untuk terus berbenah  dan memperbaiki diri guna mendapatkan kepercayaan khalayak umum yang dapat menjadi  modal berharga bagi suatu pemerintahan. 

Terakhir, segala gerakan radikal sejatinya lahir dari rasa ketidakadilan yang mengakar kuat.  Karenanya, menjadi penting untuk terus membangun kepercayaan publik. Sehingga, kutipan di  awal tulisan ini pun menjadi semakin relevan adanya. 

 

Referensi 

Alm, J., Kirchler, E., & Muehlbacher, S. (2012). Combining Psychology and Economics in the  Analysis of Compliance: From Enforcement to Cooperation. Economic Analysis & Policy, 42(2),  133-151.  

CNBC Indonesia. (2024). Belanja Pegawai Bengkak di 2025, Buat Kementerian Baru?. Diakses  dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20240903125147-4-568731/belanja-pegawai bengkak-di-2025-buat-kementerian-baru.  

Herman, L, A., Rissi, D, M., & Ramadhea Jr., S. (2023). Persepsi Kepatuhan Perpajakan yang  Dipengaruhi oleh Keadilan Prosedural, Keadilan Distributif, dan Keadilan Retributif. Jurnal  AKuntansi Kompetif, 6(1), 151-162. ISSN: 2622-5379.  

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2019). Mengenal Rasio Pajak Indonesia. Diakses  dari https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/mengenal-rasio-pajak indonesia.  

Kirchler, E dan Hoelzl, E. (2018). Tax Behaviour. Dalam R. Ranyard. Economic Psychology, (hal  255-271). Chichester: John Wiley & Sons.  

Tempo. (2024). Pemerintah Naikkan PPN 12 Persen karena Rasio Pajak Indonesia Rendah:  Segini Besaran Ideal Rasio Pajak. Diakses dari https://www.tempo.co/ekonomi/pemerintah naikkan-ppn-12-persen-karena-rasio-pajak-indonesia-rendah-segini-besaran-ideal-rasio-pajak 1184365

 
Penulis: Muhammad Anshary, lulusan Psikologi.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.