Sudut Pandang Psikologi: Pajak dan Keadilan
Hiruk pikuk soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik dari 11 persen menjadi 12 persen yang walaupun telah diumumkan tidak akan naik secara menyeluruh dan hanya barang mewah yang akan dikenakan aturan baru tersebut nampaknya masih banyak yang belum memahami persoalan dasarnya. Salah satu penyebab utama PPN dinaikkan adalah karena rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang masih dianggap rendah. Lantas apakah rasio pajak itu?
Rasio Pajak
Dilansir dari laman resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia (RI) rasio pajak merupakan perbandingan antara penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara dalam periode yang sama.
Sederhananya, bayangkan ekonomi adalah sebuah kue ulang tahun besar yang terbuat dari semua aktivitas ekonomi di suatu negara (Dikenal sebagai PDB). Jadi, rasio pajak dapat menunjukkan berapa bagian kecil dari kue itu yang berhasil dikumpulkan oleh negara sebagai pajak.
Indikator ini sering digunakan untuk melihat efektifitas sebuah negara dalam mengumpulkan pajak dibandingkan dengan ukuran ekonominya. Secara teori, semakin tinggi rasio pajak, maka akan semakin tinggi kemampuan pemerintah untuk membiayai kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan maupun infrastruktur.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa idealnya rasio pajak berada di angka 15 persen. Sedangkan, mengutip Tempo, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani menyebutkan bahwa rasio pajak Indonesia saat ini hanya 10 persen. Sebagai perbandingan, rasio pajak Brasil berada di angka 25 persen, Afrika Selatan 21 persen, dan Filipina 12 persen.
Faktor Resistensi Kenaikan Pajak
Namun, mengapa rasio pajak Indonesia rendah? Salah satu penyebabnya terletak pada kepatuhan pajak, yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, namun faktor psikologis juga memainkan peran yang cukup besar. Utamanya terkait persepsi masyarakat soal keadilan yang memengaruhi kepatuhan. Dalam Psikologi, keadilan dibagi menjadi tiga, yaitu distributive, procedural dan retributive justice.
Dalam handbook berjudul Economic Psychology, pada chapter Tax Behaviour dijelaskan bahwa distributive justice terbagi lagi menjadi tiga, yaitu horizontal, vertical dan exchange fairness. Horizontal fairness merupakan keadilan pembagian beban pajak antar individu dengan pendapatan yang sama, sedangkan vertical fairness merupakan keadilan beban pajak antar kelompok dengan kemampuan finansial yang berbeda.
Exchange fairness merupakan keseimbangan antara beban pajak yang masyarakat bayarkan dengan manfaat publik yang didapatkan.
Karya tahun 2018 itu lebih lanjut menjelaskan bahwa procedural justice merupakan keadilan yang menitikberatkan pada proses pengambilan keputusan terkait pajak. Memiliki rasa keterwakilan dalam penentuan kebijakan pajak dan transparansi merupakan dua aspek penting dalam variabel ini.
Sedangkan, retributive justice merupakan keadilan yang berbentuk hukuman kepada pelanggar pajak. Hukuman yang setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan dan hukuman yang secara konsisten diterapkan menjadi aspek penting dalam rasa keadilan ini.
Semakin tinggi ketiga hal tersebut, maka semakin tinggi kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak. Ketiganya memengaruhi bagaimana masyarakat menilai keadilan khususnya terkait pajak. Namun, melihat kondisi saat ini, maka tidak heran mengapa resistensi terhadap kenaikan pajak lebih sering terjadi.
Viralitas Kasus dan Rasa Ketidakadilan
Kasus seorang anak yang viral dan menyeret orang tuanya, pada akhirnya diketahui mobil mewah yang dimilikinya terdaftar atas nama orang lain dan harta lainnya dianggap sebagai hasil gratifikasi. Kasus tersebut membuka mata publik, karena Bapak dari anak itu adalah seorang pejabat pajak yang justru berusaha menghindari pajak.
Selain itu, penulis percaya bahwa Ini hanyalah puncak gunung es dari sebuah masalah yang lebih besar, karena setelah kejadian tersebut banyak mobil mewah serupa yang dijual di online shop.
Selanjutnya, kasus korupsi juga kerap kali terjadi bahkan seolah dinormalisasi. Ambil contoh kasus terakhir, merugikan negara hingga ratusan triliun, namun hanya mendapatkan masa tahanan yang dianggap tidak setimpal jika dibandingkan dengan pencuri biasa yang kerap kali mendapatkan hukuman tahanan yang lebih lama.
Kondisi lain yang tidak kalah adalah belanja pegawai. Dilansir dari CNBC Indonesia bahwa sebagaimana yang tertera dalam Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN Tahun Anggaran 2025 belanja pegawai sebesar 513 Triliun naik 11 persen dari rancangan awal, yaitu 460 Triliun.
Hal ini kerap kali dikaitkan dengan fasilitas mewah yang sering kali didapatkan para pejabat seperti mobil dan rumah dinas yang jumlahnya bisa lebih dari satu dan biaya pemeliharaannya juga tidak ditanggung oleh mereka.
Pada saat bersamaan masyarakat sedang mengalami ketidakpastian ekonomi, daya beli menurun, deflasi, bahkan biaya kuliah yang tetap melambung tanpa intervensi berarti dari pemerintah.
Fenomena-fenomena ini turut banyak membuat pandangan masyarakat terkait keadilan menjadi rendah. Hal ini tentu akan menyeret kepercayaan (trust) publik yang rendah pada pengelolaan pajak itu sendiri. Padahal penelitian telah membuktikan bahwa persepsi keadilan yang tinggi dapat meningkatkan kepatuhan pajak.
Hasil Penelitian
Penelitian berjudul Combining Psychology and Economics in the Analysis of Compliance: From Enforcement to Cooperation tahun 2012 menunjukkan bahwa persepsi keadilan yang tinggi dapat meningkatkan kepatuhan membayar pajak. Penelitian lain yang dilakukan Herman dan koleganya pada tahun 2023 juga menunjukkan hal serupa, bahwa keadilan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak.
Artinya, semakin tinggi persepsi keadilan yang masyarakat miliki, maka akan semakin tinggi tingkat kepatuhan pajak sukarela.
Penutup
Sebagai penutup, walaupun PPN 12% pada akhirnya tidak naik secara umum, namun penolakan publik terhadap kenaikan pajak tentu akan terus berulang. Resistensi tersebut wajar saja terjadi jikala rasa keadilan tak pernah benar-benar mewujud.
Pada akhirnya rasa keadilan akan selalu bermuara pada rasa kepercayaan. Jadi, kesempatan ini dapat menjadi bahan evaluasi yang konstruktif bagi pemangku kebijakan untuk terus berbenah dan memperbaiki diri guna mendapatkan kepercayaan khalayak umum yang dapat menjadi modal berharga bagi suatu pemerintahan.
Terakhir, segala gerakan radikal sejatinya lahir dari rasa ketidakadilan yang mengakar kuat. Karenanya, menjadi penting untuk terus membangun kepercayaan publik. Sehingga, kutipan di awal tulisan ini pun menjadi semakin relevan adanya.
Referensi
Alm, J., Kirchler, E., & Muehlbacher, S. (2012). Combining Psychology and Economics in the Analysis of Compliance: From Enforcement to Cooperation. Economic Analysis & Policy, 42(2), 133-151.
CNBC Indonesia. (2024). Belanja Pegawai Bengkak di 2025, Buat Kementerian Baru?. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20240903125147-4-568731/belanja-pegawai bengkak-di-2025-buat-kementerian-baru.
Herman, L, A., Rissi, D, M., & Ramadhea Jr., S. (2023). Persepsi Kepatuhan Perpajakan yang Dipengaruhi oleh Keadilan Prosedural, Keadilan Distributif, dan Keadilan Retributif. Jurnal AKuntansi Kompetif, 6(1), 151-162. ISSN: 2622-5379.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2019). Mengenal Rasio Pajak Indonesia. Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/mengenal-rasio-pajak indonesia.
Kirchler, E dan Hoelzl, E. (2018). Tax Behaviour. Dalam R. Ranyard. Economic Psychology, (hal 255-271). Chichester: John Wiley & Sons.
Tempo. (2024). Pemerintah Naikkan PPN 12 Persen karena Rasio Pajak Indonesia Rendah: Segini Besaran Ideal Rasio Pajak. Diakses dari https://www.tempo.co/ekonomi/pemerintah naikkan-ppn-12-persen-karena-rasio-pajak-indonesia-rendah-segini-besaran-ideal-rasio-pajak 1184365.
Penulis: Muhammad Anshary, lulusan Psikologi.