Tue, 21 Jan 2025
Esai / Andhika / Jan 17, 2025

Terenggut dan Kian Terkubur dalam Sunyi

Tanah bagi masyarakat adat bukan hanya sekadar sumber daya alam. Lebih dari itu, tanah adalah “mama”. Tanah menjadi tempat lahir, tempat dibesarkan, dan tempat sejarah panjang nenek moyang yang diwariskan dan dijaga dengan sepenuh hati. Tanah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat. Tanah adalah ruang yang memberikan penghidupan pada masyarakat adat. 

Bagi masyarakat adat, tanah merupakan mama yang melahirkan dan memberikan makan. Tanah menjadi simbol keseimbangan yang diwariskan secara turun-temurun. T

api saat ini, dengan hadirnya logika kapitalisme, segala hal dilihat menjadi komoditas yang mampu memberikan keuntungan. Tanah juga menjadi sasaran empuk dari logika kapitalisme. Ekskavator yang diluncurkan oleh para perusahaan telah membuat tanah yang penuh dengan cerita dan warisan menjadi hancur.

Ketika tanah dihancurkan, bersamaaan juga jiwa masyarakat adat turut direnggut, pada akhirnya akan meninggalkan sebuah kehampaan pada masyarakat adat yang sulit untuk diisi kembali. Dan tragedi perampasan tanah yang dilakukan akan menjadi sebuah tragedi yang menjadi ruang gema melintas dari generasi ke generasi.

Perampasan tanah merupakan wajah kolonialisme baru, didorong oleh proyek yang katanya pembangunan namun mengabaikan keadilan. Ekspansi perusahaan yang rakus akan sumber daya, ditambah dengan kebijakan negara yang berpihak pada logika kapitalisme, membuat masyarakat adat berada dalam titik yang kritis. 

Tanah adat; tanah yang diwariskan secara turun temurun, dirampas tanpa mempertimbangkan hak masyarakat lokal. Meskipun terkadang dalam beberapa pemberitaan, ada segelintir orang yang mengatakan bahwa mereka mewakili masyarakat adat tidak merasa terganggu dengan adanya perampasan tanah yang dilakukan karena telah adanya kesepakatan, namun nyatanya jika dilihat lebih dalam.

Sebagian besar masyarakat adat kehilangan tempat tinggal, tanah yang menjadi akar budaya masyarakat adat turut diberanguskan. Akibatnya masyarakat adat seperti dipaksa menjadi asing di tanah sendiri.

Mata pencaharian yang bergantung pada alam hancur, sementara ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan mereka malah dirusak tanpa ampun. Perampasan yang hadir bukan hanya merampok sumber daya berupa tanah atau lahan, namun lebih jauh dari itu, identitas, keberlangsungan hidup, dan hak asasi manusia masyarakat adat juga dirampas. Dan akhirnya menciptakan lingkaran kemiskinan dan ketidakadilan yang sulit untuk dihentikan.

Masyarakat adat sering terjebak dalam keheningan yang dipaksakan, dalam artian suara masyarakat adat sengaja ditekan, dibungkam, dan bahkan diabaikan. Diskriminasi yang terjadi bukan hanya bersifat sosial, tetapi juga struktural. Hal ini diperparah dengan kebijakan negara yang hanya mementingkan kepentingan korporasi-korporasi dan berlindung dibalik kata pembangunan.

Contoh yang bisa dilihat adalah di Papua, seperti daerah Boven Digoel. Dari beberapa pemberitaan, tanah adat yang telah dirampas dan dijadikan perusahaan berjumlah 39.000 Hektare !!! Masyaallah, bayangkan sebuah hutan dijadikan lahan sawit yang luasnya lebih dari setengah Provinsi DKI JAKARTA !!!

Apakah penghancuran besar seperti ini masih pantas disebut sebagai sebuah pembangunan? Ataukah pembangunan yang dimaksud hanya berlaku untuk orang luar, tidak berlaku bagi masyarakat Papua?

Sudah saatnya kita membuka mata dan mendengar jeritan dari masyarakat ada yang terus terbungkam. Boven Digoel hanya satu dari sekian banyak daerah masyarakat adat yang terus dirampas dengan gila.

Kita tidak bisa lagi berpura-pura untuk tidak tahu. Tanah yang dianggap sebagai mama, sebagai sumber kehidupan, saat ini telah dicabik-cabik demi kepentingan korporasi atau perusahaan yang tidak peduli pada hak asasi manusia. Kita harus berani menyuarakan keadilan dan mendukung hak-hak masyarakat adat untuk mempertahankan tanah dan budayanya.

Perjuangan ini bukan hanya perjuangan untuk tanah, tapi juga untuk martabat manusia. Kita semua memiliki tanggung jawab moral dalam menghentikan perampasan yang katanya pembangunan. Mari bersama memperjuangan hak-hak masyarakat adat bukan hanya yang ada di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. 

 
 
Penulis: Andhika, menjadi mahasiswa, belajar menulis, belajar membaca, dan belajar menjadi manusia yang memanusiakan manusia. Dapat ditemui melalui instagram @sen.andhika.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.