Thu, 12 Dec 2024
Esai / Kontributor / Dec 30, 2020

Terjebak di Ruang Refleksi

Catatan kritis pada HARDIKNAS 2020

PENDIDIKAN. Tak hanya dipahami secara filosofis. Namun, di sisi lain memiliki jejak reflektif dalam sejarah. Jejak-jejaknya tidak hanya sekadar memantik ingatan, tetapi mampu menjadi tamparan bagi orang-orang—pemerintah dan sebagian masyarakat—yang mengganggapnya sebagai angin berlalu, atau sebagai konten seremonial untuk mendongkrak popularitas Institusi Pendidikan yang telah terdistorsi dari tujuannya, yaitu menjadi industri besar di tengah peradaban masyarakat.

Wacana itu diibaratkan angin yang cukup panas bagi kelas bawah ketika pendidikan dijadikaan sebagai alat dalam mengkosnturksi masyarakat sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) yang terampil, disiplin, dan lahan bisnis di bawah bayang-bayang industrialisasi. Kendatipun demikian ditemukan dari serpihan sejarah pendidikan itu sendiri sebagai penanda (signified) yang memiliki corak petanda (signifier) yang bermacam-macam.

Hakikat Pendidikan Sebagai Alat Pembebasan

Pada hakikatnya pendidikan menurut Freire dalam Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan (1999) haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif atau subjektif tapi harus kedua-duanya.

Dengan kata lain, kedua-duanya tersingkronisasi untuk menyelesaikan permasalahan di tengah mereka. Kesadaran subjektif atas objektivitas kondisi masyarakat dibangun melalui jalan alternatif secara dialektis, yaitu melalui sitem pendidikan. Tujuan itu membawanya pada sebuah definisi apik yang selama ini terngiang di seantero masyarakat progersif, pendidikan adalah alat untuk memanusiakan-manusia.

Hal ini diproyeksikan, sebagaimana manusia sebagai subjek yang saling berdialektika. Hubungan antara individu dengan individu yang lain menjadikan manusia sebagai homosocius (masyarakat) yang tidak dapat dipisahkan. Sebab dalam relasinya, kebutuhan mendasar manusia dapat terpenuhi. Itulah sebabnya, pendidikan menjadi penting bagi manusia.

Dalam fragmen sejarah keindonesiaan, pendidikan dibaiat sebagai suatu sistem untuk menyelamatkan rakyat dari kemelaratan—apakah dari kebodohan atau dari kemiskinan—yang menjerat. Pada bagian pembukaan alinea keempat UUD 1945, bergema “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan…”.

Berangkat dari premis ini, maka disusunlah aturan Negara sebagai batu pijakan hukum tertinggi. Cita-cita ini membuat kita terkesima bahwa betapa mulianya tujuan bangsa ini. Bangsa yang dibangun dari air mata, darah, kepalan tangan, pena, serta episentrum dari doa-doa leluhur.

Dalam tujuan itu kita akan membedah satu kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang memiliki petanda yang dijabarkan pada pasal 31 UUD 1945, bahwa sejatinya setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Dengan kata lain, setiap warga Negara bebas memilih kualitas dalam proses pendidikan itu sendiri.

Kendati pun demikian, Negara dalam konteks ini menjadi penyedia layanan pndidikan serta bertanggungjawab atas terakomodirnya hak rakyat dalam berpendidikan. Oleh sebab itu, negara mematenkan anggaran pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).  Hal tersebut dilakukan untuk merealisasikan tujuan bangsa nan mulia itu.

Mencerdasakan kehidupan bangsa, bukan hanya sekadar kalimat yang tak bermakna, atau tak memiliki spirit perjuangan. Mencerdaskan dalam konteks ini, yaitu membebaskan rakyat dari mentalitas kolonial dan feodal yang tertumpuk sebelum datangnya kemerdekaan. Sehingga pendidikan adalah anti-tesis dari tesis ketidakadilan, kemelaratan, dan pengungkungan mentalitas kolonial.

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah alat mobilisasi politik dan sekaligus sebagai penyejahtera umat. Dari pendidikan akan dihasilkan kepemimpinan anak bangsa yang akan memimpin rakyat dan mengajaknya memperoleh pendidikan yang merata, pendidikan yang bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia.

Jiwa populis Ki Hajar Dewantara sudah mendasarinya untuk menyatu dengan rakyat, sehingga meski beliau keturunan bangsawan yang pada waktu itu terdapat jurang yang lebar dengan kehidupan wong cilik, tetapi beliau berusaha menutup celah itu. Sebuah kehidupan yang demokratis yang bisa dinikmati rakyat banyak.

Jejak pendidikan Tinggi dalam Episteme Sejarah

Berdasarkan buku Kuliah Kok Mahal? (2018), Panji Mulkillah Ahmad mengurai sejarah kebijakan Pendidikan tinggi dan mengkomparasikannya antara kebijakan orde lama dan orde baru. Di Era Soekarno pendidikan tinggi tidaklah kalah pentingnya bagi kehidupan bangsa dan negara.

Melalui pandangan tersebut, Era Soekarno melahirkan dua Undang-undang (UU) yang dapat menggambarkan sistem biaya pendidikan Tinggi. Pertama adalah UU No.4 tahun 1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah.

Dalam aturan ini, penyelenggaraan pendidikan dimaksudkan untuk menyiapkan orang-orang yang dapat memberi kepemimpinan dalam masyarakat, memajukan ilmu pengetahuan, dan kemajuan hidup kemasyarakatan. Karakter pendidikan era ini adalah nasional dan demokratis. Nasional yang berarti bersumber dari kepribadian dan kebudayaan bangsa sendiri, yang berujuan membangkitkan rasa percaya diri atas indentitas kebangsaan.

Demokartis yang berarti setiap peserta didik akan dididik secara demokratis yang bertujuan menjadikan manusia yang demokratis pula. Sehingga proses pendidikan tersebut, dimaksudkan harus berlansung secara demokratis, tidak secara imperatif. Namun, berdasarkan atas kemauan sendiri, atas rasa kemerdekaan dan inisiatif sendiri. Demokrasi pendidikan juga mengatur agar setiap orang berhak untuk mengikuti pendidikan.

Dengan kata lain, kekurangan biaya tidak boleh menjadi halangan. Pemerintah harus memberi tunjangan-tunjangan bagi pelajar yang tidak mampu, baik itu dengan beasiswa, pekerjaan, asrama, dan sebagainya.

Kebijakan yang kedua adalah UU No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Aturan ini memberikan gambaran atas tujuan Perguruan Tinggi. Pertama, membentuk manusia asusila yang berjiwa Pancasila dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, materiil dan spiritual.

Kedua, menyiapkan tenaga yang cakap untuk memangku jabatan yang memerlukan pendidikan tinggi, dan yang cakap berdiri sendiri dalam memelihara dan memajukan Ilmu Pengetahuan. Dan, ketiga, melakukan penelitian dan usaha kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan, kebudayan dan kehidupan kemasyarakatan.

Dari tujuan tersebut, Soekarno mekanai sosialisme sebagai masyarakat adil makmur berdasarkan pancasila. Sehingga berdiri di kaki sendiri (berdikari) adalah prinsip untuk membangun masyarakat yang dicita-citakannya. Pada titik ini, Panji dalam Kuliah Kok Mahal? (2018) mengemukakan bahwa negara secara aktif membangun dan mengonsolidasikan sendiri perusahaan-perusahaan dalam negeri dan menasionalisasi perusahaan-perusahaan peninggalan Kolonial Belanda. Dengan kata lain, Negara tidak menunggu datangnya investor-investor asing.

Sistem biaya pendidikan tinggi di era Soeakrno digambarkan melalui naskah komprehensif Perubahan UUD 1945:

“Sejak 1950 pemerintah mengadakan program wajib belajar yang bebas dari pungutan biaya belajar. Bahkan, bagi siswa yang masuk sekolah menengah pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Universitas, pada masa pemerintahan Soekarno, hamper tidak dipungut biaya juga. Begitu juga sekolah bagi para calon guru. Para siswa sekolah ini diberikan ikatan dinas dan ditampung di sebuah asrama yang telah disediakan. Para dosen diberi perumahan dan setiap universitas negeri dibangun asrama untuk para mahasiswa.”    

Kutipan di atas cukup terang menggambarkan kebijakan biaya pendidikan tinggi pada era Soekarno dalam bentuk digratiskannya biaya pendidikan. Hal ini didorong oleh pancasila dengan prinsip-prinsip sosialis yang dianut oleh pemerintahan. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan negara mendominasi dalam perekonomian, pegawai-pegawai yang menjadi pengelolah perusahaan tersebut pada dasarnya bekerja untuk negara.

Sarjana-sarjana diarahkan untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan negara sesuai dengan kemampuannya, di samping itu juga sarjana-sarjana diarahkan pula mengisi pos-pos pemerintahan.

Namun, sangat berbeda di era Suharto yang mana watak pemerintahan sangat kontra sosialisme. Perusahaan-perusahaan swasta asing maupun dalam negeri mulai mendominasi perekonomian nasional. Hal ini dilandaskan atas UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan, dan UU Kehutanan yang diterbitkan pada awal era Suharto. Hal tersebut juga berpengaruh pada sistem pendidikan Nasional.

Era Suharto, berdasarkan pemaparan dari Panji dalam Kuliah Kok Mahal? (2018) beberapa kebijakan bermunculan seperti mulai diperkenalkannya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) sejak tahun 1968. Masyrakat atau orang tua murid dibebani membayar biaya belajar, termasuk bagi anak yang masuk ke dalam Sekolah Dasar. Meski tidak lagi gratis, biaya pendidikan tinggi masih terjangkau bagi masyarakat di era Suharto.

SPP di Universitas Gadja Mada (UGM) misalnya, pada tahun 1982 hanya sebesar Rp 18.000,00 per semester untuk jurusan sosial, dan Rp 24.000,00 per semester untuk jurusan Eksakta. Namun yang menajadi catatan kritis adalah pendidikan mulai menjalan role pesanan dari asing. Simtom Liberalisasi pendidikan mulai terlihat di Era Suharto. Hal ini dibuktikan melalui UU No. 2 tahun 1989, dalam penjelasan pasal 25 dicantumkan sebagai berikut:

“Pada dasarnya Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan Pemerintah, yang berlaku juga dalam hal biaya penyelenggaraan pendidikan. Pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah pada dasarnya peserta didik ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan yang jumlahnya ditetapkan menurut kemampuan orang tua atau wali peserta didik. Pada jenjang pendidikan yang dikenakan ketentuan wajib belajar, biaya penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah merupakan tanggung jawab pemerintah, sehingga peserta didik tidak dikenakan kewajiban untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan. Peserta didik pada jenjang pendidikan lainnya yang ternyata memiliki kecerdasan luar biasa tetapi tidak mampu ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan dapat dibebaskan dari kewajiban tersebut. Pembebanan biaya tambahan yang tidak lansung berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar tidak dibenarkan.”

Pada premis di atas terbukti bahwa era Suharto mulai membebani masyarakat untuk ikut serta dalam pembiayaan pendidikan Nasional. Sehingga negara secara tidak lansung mulai memiliki efek pelepasan tanggung jawab negara atas pendidikan yang berlaku. Meskipun lamban, tetapi efek itu terasa hingga saat ini sebagai poros awal sejarah pendidikan yang membuka ruang liebralisasi masuk dalam sektor pendidikan.

Pendidikan sebagai Neoliberalism Effect

Dari ruang tersebut, maka tak heran apabila konsep pendidikan menjadi wadah potensial untuk meraup keuntungan. Model pendidikan seperti ini, tidak terlepas dari sejarah perdagangan bebas yang merupakan fenomena pasca perang dunia II. Di mana negara-negara maju membuat agenda pembangunan ekonomi untuk membantu negara-negara dunia ketiga yang terkena krisis.

Caranya menurut Gilpin dalam The Challenge of Global Capitalism (2000) adalah menyebarluaskan sistem ekonomi kapitalisnya. Salah satu strategi untuk memperlancar perdagangan bebasnya adalah dengan membentuk lembaga-lembaga internasional, yaitu International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia (World Bank), dan General Agreement of Tariff and Trade (GATT) atau berubah nama menjadi World Trade Organization (WTO).

Lembaga tersebut menurut Winarno dalam Melawan Gurita Neoliberalisme (2010)berperan untuk menyebarluaskan ideologi neoliberalisme, dan mempercepat arus globalisasi dengan cara mendorong setiap negara yang terdampak krisis ekonomi untuk melakukan kebijakan liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.

Mereka ibarat gurita yang melahap negara-negara dunia ketiga. Atas dasar penyelamatan umat manusia melalui kucuran anggaran yang dipinjamkannya. Namun, kucuran tersbut tidaklah main-main, kucuran tersebut bukan hanya sekadar pinjaman semata, tapi sebagai syarat memajukan cita-cita kapitalisme dalam mengglobalisasi.

Grobalisasi menurut Giddens adalah intensifikasi hubungan sosial di seluruh dunia. Secara garis besar globalisasi menurut Putra dalam Politik Pendidikan: Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia dan India(2016) mengakibatkan liberalisasi sector ekonomi agar praktik pasar bebas dapat lebih mudah dijalankan di negara-negara berkembang.

Globalisasi mengimplikasikan atas dorongan untuk meliberalisasi sektor lainnya, termasuk pendidikan. Hal ini dilihat tingkat massifikasi partisipasi pendidikan tinggi yang semakin meningkat. Sehingga sektor pendidikan menjadi daya tarik dalam menjadikannya sebagai lahan basah bussines orientied. Oleh sebab itu, pengetahuan tidaklah lagi berlandaskan pada realita sosial, tetapi wacana knowledge-based economy menjadi hal yang lumrah di dunia pendidikan saat ini.

Bahkan, pendidikan yang ada dan mapan saat ini diibaratkan seperti sebuah bank (banking concept of education) di mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar kelak mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi, anak didik adalah objek investasi dan sumber deposito potensial menurut Freire dalam Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan (1999). Gambaran tersebut adalah berdasarkan Albatch dll dalam Trends in Global Higher Education: Tracking an Academic Revolution (2019) disebut efek dari prinsip neoliberalisme.

Di Indonesia sendiri, efek itu terasa membakar sumbu otonomi pasca Indonesaia menjadi anggota WTO dengan meratifikasinya melalui UU No. 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata perdagangan barang, jasa dan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan.

Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali “jasa non-komersial atau tidak bersaing dengan penyedia jasa lainnya”. Hal tersebut adalah respon atas perjanjian General Agreement of Tariff and Service (GATS) yang tak hanya sekadar perdagangan barang tapi di dalamnya terdapat 12 sektor jasa yang dikomesilkan termasuk pendidikan.

Menurut Sofian Effendi dalam tulisan Putra Politik Pendidikan: Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia dan India (2016), salah satu faktor yang menyebabkan sektor pendidikan tinggi diliberalisasi oleh banyak negara di dunia adalah para ekonom dunia membagi kegiatan usaha ke dalam tiga sektor, yakni sekot primer (ekstraksi hasil pertambangan dan minyak), sektor sekunder (mengelolah bahan dasar menjadi barang), dan sektor tersier (mencakup industri untuk mengubaj wujud baik berupa physical services, human services, maupun information and communication services). Padangan inilah yang menjadi bahan pertimbangan WTO dalam memasukkan pendidikan sebagai sektor jasa yang turut dikomersilkan.

Oleh sebab itu, Indonesia mengeluarkan regulasi-regulasi yang cukup menyimpang dari substansi pendidikan yang seharusnya. Aturan-aturan ini tak lain merupakan materi abstaksi dari pengetahuan neoliberalisme. Sebagaimana Foucault dalam buku Fiske Reading The Populer (1990) mengungkapkan bahwa pengetahuan sebagai bentuk produksi kekuasaan, yang pada dasarnya menjadi sebuah kebenaran

Pada titik ini, kebenaran tentang neoliberalisme seolah-olah diproduksi melalui peraturan yang ada, hingga menjadikannya sebagai penjara panoptik dalam menagwasi gerak-gerik kita di setiap saat.

Aturan-aturan yang menyimpang hingga saat di antaranya, PP 61 tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN), UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, SK Dirjen Dikti No. 28/DIKTI/Kep/2002 tentang Penyelenggaraan Program Non-Reguler di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), PP No. 23 tahun 2005 yang menjadi PP 74 tahun 2012 tentang Penerapan Pola Keuangan Badan Layanan Umum (BLU), Permendiknas No. 2 tahun 2005 tentang Subsidi Silang Biaya Operasional Pendidikan Tinggi, PP No 48 tahun 2008 dan yang terakhir UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT/UU Dikti).

Berbagai kebijakan itu secara garis besar melegalisasi PTN untuk menghisap sumber pendaan dari masyarakat dalam bentuk menaikkan biaya pendidikan seperti Uang Kuliah Tungga (UKT) atau SPP, Pemberian otonomi manajemen dan keuangan terhadap kampus-kampus BHMN, membuka jalur masuk mandiri, menyediakan kursi non-subsidi, membuka program kelas internasional, melakukan kerja sama dengan pihak industri, melakukan konsultasi komersial, menyewakan asset perguruan tinggi, dan menerima sumbangan dari dalam maupun dari luar negeri.

Pada intinya, pendidikan saat ini membakar sumbu intelektualitas dan menhancurkan cita-cita bangsa yang mulia ini. Tak heran apabila kondisi pendidikan saat ini semakin melempar masyarakat pada jurang kemiskinan—ekonomi maupun potensi diri. Lalu apa yang diharapkan oleh rakyat atas kampus atau sekolah-sekolah saat ini?

Sinisme dan Tindakan Radikal dalam Melawan Tatanan Pendidikan Kontemporer 

Selama bertahun-tahun, kita selalu terjebak dalam ruang refleksi yang hanya berputar dalam sangkar tatanan simbolik ini. Dan kemungkinan kita semua menyadari kejadian seperti itu. Bahkan kita seolah-olah tidak berdaya berada dihadapan kondisi pendidikan yang sering kita refleksikan.

Saya menyebut fenomena itu sebagai sinisme. Melalui Zizek ke pikiran Peter Sloterdijk dalam Critique of Cynical Reason (2001) “they know very well what they are doing, but still, they are doing it” Dengan kata lain, subjek sinis cukup sadar, yang berjarak antara topeng ideologis dan realitas sosial, tetapi subjek tetap bersihkeras pada topeng itu. Sehingga keterjebakan itu akan membuat subjek kesakitan dalam kenyataannya.

Hal tersebut secara gamblang dinyatakan oleh Žižek dalam The Sublime Object of Ideology (1989) bahwa Subjek mengetahui kepalsuan dengan sangat baik, subjek sangat sadar akan sesuatu yang tersembunyi di balik universalitas ideologis itu, tetapi subjek masih tidak meninggalkannya.

Sinisme menurut Žižek dalam The Sublime Object of Ideology (1989) sebagai ideologi adalah jawaban dari budaya yang berkuasa; ia mengakui, ia memperhitungkan, minat khusus di balik universalitas ideologis, jarak antara topeng ideologis dan kenyataan, tetapi ia masih menemukan alasan untuk mempertahankan topeng itu.

Sinisme ini bukanlah posisi langsung dari imoralitas, ini lebih seperti moralitas yang digunakan untuk melayani imoralitas - model kebijaksanaan sinis adalah untuk memahami kejujuran, integritas, sebagai bentuk tertinggi dari ketidakjujuran, dan moral sebagai bentuk tertinggi dari pemborosan, kebenaran sebagai bentuk kebohongan yang paling efektif. Oleh karena itu, sinisme ini adalah semacam negasi-negasi yang menyimpang dari ideologi resmi.

Atas dasar itu, menurut Žižek dalam The Sublime Object of Ideology (1989) kritik tradisional terhadap ideologi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, karema subjek tidak bisa lagi menunjukkan teks ideologi. Dengan kata lain, subjek hanya mampu untuk membohongi realitas yang dihadapinya. Sehingga dalam sinisme sebagai ideologi statusnya hanyalah sarana manipulasi, pengaruh murni eksternal dan instrumental.

Dalam artian, lanjut Žižek, ideologi dapat menjamin nilai kebenarnnya dengan kekerasan ideologis dan janji untuk mendapatkan keuntungan. Hal inilah yang menggerakan hasrat subjek menjadi seperti yang-Lain besar. Sehingga, menjebak subjek dalam fantasi ideologi.

Fantasi Ideologi sendiri dipahami sebagai ilusi yang menyusun hubungan subjek dengan kenyataan, dan ilusi itu tidak disadari bahkan dilupakan (Žižek,1989:30). Sehingga apa yang subjek ketahui adalah bahwa realita sosial mereka sendiri, aktivitas mereka dibimbing oleh ilusi. Ilusi tersebut menyusun realitas mereka. Inilah fakta dari pasca-Ideologis, di mana sinisme menjadi sebagai ideologi.

Saya lebih pada menjustifikasi masyarakat kontemporer yang tak bisa menembus tatanan itu. tatanan simbolik yang penuh dengan bahasa (metafora/metonimia) dan menggiringnya pada zona repetisi. Sehingga tak ada gerakan yang benar-benar estetis yang dihasilkannya untuk keluar dari jebakan refleksi ini. Dengan kata lain, saya berusaha menggiring kawan-kawan untuk berpikir secara radikal.

“Kita tahu bahwa sistem pendidikan saat ini benar-benar bermasalah, tetapi kita masih saja tunduk pada kondisi permasalahan itu”. Hal ini dipandang sebagai gangguang psikologis oleh Žižek, bahwa sebenarnya masyarakat saat ini mengetahui hal itu, tetapi hasrat dalam dirinya untuk tetap berdiam diri lebih dominan mengalahkan dirinya sendiri sebagai subjek otonom. Mungkin masalah nilai, atau memilihi untuk berdiri kokoh di bawah ketek birokrat.

Lalu apa gunanya kita merefleksi? Tak ada! Sebab yang direfleksikan adalah sesuatu hal yang terus diulang-ulang. Hanya memberikan kita rasa sakit lalu berpikir untuk tetap membenamkan diri pada sangkar reflektif itu. Kondisi saat ini memanglah bebal, tak dipungkiri semakin sisnisnya mahasiswa—pengurus lembaga kemahasiswaan—memilih untuk tetap eksis walau dia dibayang-bayangi oleh rasa sakit.

Bahkan dengan itu, metode pun jadi tumpul untuk melakukan gerakan. Dengan kata lain, kita telah dikalahkan oleh konstuksi wacana simbolis dari kekuasaan.

Pada sesi ini, saya tidak ingin menuliskan aksi-aksi heroik masa lalu. Akan tetapi, saat ini kita mesti bersepakat bahwa sejarah itu sifatnya diskontiniuitas (tak berkoronologi)—meminjam istilah Michel Foucault. Dengan kata lain, zaman dulu hingga sekarang memiliki masa yang berbeda-beda dengan tatanan simbolis yang berbeda-beda pula, dan regim of truth pastinya memiliki sangkar pengetahuan yang berbeda-beda pula.

Sebab rezim selalu saja belajar dengan kesalahan masa lalunya. Sehingga arah gerakan, paradigma dan metodenya pun berbeda-beda.

Kita mesti keluar melampaui tatanan simbolik itu, dengan kata lain. Menjauh dari dunia simbolis yang penuh dengan pesimisme. Dengan cara melakukan tindakan radikal sebagai antitesisnya. Meskipun tindakan radikal sebenarnya disinyalir tidak ideologis, kita perlu melihat landasan ideologis untuk mengetahui autensitasnya sebab menurut Zizek dalam Tarrying with the negative: Kant, Hegel, and the critique of ideology (1993), ketika kita bertindak secara spontan, dalam makna dunia sehari-hari, kita tidaklah bebas, tetapi sebenarnya kita merupakan tawanan dari sifat-sifat kita sesungguhnya yang ditentukan oleh kausalitas yang menghubungkan kita dengan dunia eksternal.

Spontanitas sejati sebenarnya ditentukan oleh determinasi subjek akan diri sendiri. Namun, tindakan radikal penting bagi Žižek, sebab subjek mampu mengubah segala kemungkinan yang bisa dilakukannya. Ia menembus batas-batas tatanan simbolik dan untuk sesaat kembali menjadi dirinya. Namun momen dalam melakukan tindakan radikal ini, ketika kekosongan (lack) hadir dalam ruang simbolis itu sendiri.

Pada saat ini, kekosongan itu terlihat pada ruang Corona Virus Disease (Covid-19), ketika kapitalisme mengalami keruntuhan sistem, yang tak bisa menyeimbangkan dirinya dengan kondisi sosial yang ada saat ini. Kekosongan itu menjadi peluang bagi kita dalam menembusnya dengan bersolidaritas. Bahkan pemerintah pun seperti tak hadir di antara kita, hanya kebohongan semata yang mereka produksi hingga boleh dikata mereka bekerja, padahal itu adalah ilusi untuk menutupi kekosongan ada. 

Kekosongan itu terlihat sangat gamblang di saat banyaknya masyrakat memilih berdonasi, bahkan perusahan berdonasi untuk melampaui tatanan simbolik ini. Dengan kata lain, kehadiran pemerintah sama sekali tidak dilirik secara signifikan.

Dalam sistem pendidikan itu sendiri, kita mampu melakukan hal itu salah satunya dengan melakukan mogok untuk membayar biaya kuliah atau dengan cara yang lain. Dengan kata lain, metodenya dimiliki sendiri oleh peserta didik saat ini. Hanya saja, tindakan radikal biasanya besifat sementara untuk beralih pada tatanan simbolik yang baru.

Entah apa yang akan terjadi pasca Covid-19 ini, menurut Zizek dalam bukunya Pandemic! Covid-19 Shakes The World (2020) apakah ideologi ini akan berubah menjadi komunisme atau malah barbarianisme. As simple as that!

 

 

Penulis: Dwi Rezky Hardianto, mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Presiden Mahasiswa BEM Universitas Negeri Makassar 2018-2019.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.