Tertutupnya Mesjid Pada Masa Khalifah Al-Qa'im
Merespon wabah virus corona yang telah masuk dalam kategori pandemi, MUI menghimbau masyarakat untuk tetap menjaga ibadah namun berkontribusi dalam mencegah penyebaran virus tersebut dengan meniadakan shalat jumat di mesjid untuk sementara waktu dan menggantinya dengan shalat zuhur di rumah.
Hal seperti ini terjadi bukan hanya di Indonesia, negara islam semisal Arab Saudi yang melarang umat islam untuk sementara waktu menunaikan ibadah haji dan umrah, dan beberapa negara lain yang memberlakukan aturan serupa. Merupakan bentuk antisipasi serius terkait penyebaran virus corona yang licin dan halus sehingga sukar dicegah.
Himbauan MUI tersebut diiringi beragam respon, baik yang pro maupun kontra namun sejatinya dapat dipahami bahwa keputusan ini bukanlah respon panik semata atas wabah virus corona, melainkan berdasarkan ijtihad hasil olah fikir para pakar agama dan hukum islam yang tidak sembarang dalam mengeluarkan keputusan.
Merujuk pada literatur islam, kita akan mendapati bahwa dimasa lampau pernah terjadi hal serupa yang berlaku pada umat islam, dalam kitab Siyar A’laam al-Nubala, karya Al-Zahabi. Pada Bab al-Qaaim, Juz 13, halaman 438, terekam sebuah riwayat yang memberikan informasi tentang abad kelima Hijriyah pada masa dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Abu Ja’far Abdullah bin al-Qadir yang diberi gelar al-Qaa’im bi Amrillah (yang teguh dalam perkara Allah).
Diangkat sebagai khalifah Abbasiyah ke-26, memimpin Dinasti Abbasiyah selama kurang lebih 45 tahun, atau sekitar tahun 1031-1075 Masehi. Pada tahun ke 25 kepemimpinannya Dinasti Abbasiyah yang memiliki cakupan wilayah yang luas terbentang mulai timur tengah hingga ke Andalusia, ditimpa musibah yang sangat serius. Saya kutip dari kitab tersebut dengan terjemahan secara literal, dengan ringkas diceritakan bahwa, “pernah ada masa peceklik yang besar di Mesir dan di Andalusia dan tidak dijumpai paceklik dan musibah yang seperti itu yang pernah melanda Kordoba, hingga mesjid-mesjid dibiarkan tertutup tanpa ada orang yang shalat, dan masa itu dinamai tahun kelaparan yang besar”.
Berdasarkan riwayat sebelumnya kita akan memahami dan mengambil pelajaran bahwa peristiwa “tutup mesjid” seperti saat ini bukanlah yang pertama kali dalam sejarah panjang umat islam dunia, demikian juga himbauan untuk tidak mengadakan shalat jumat dan menggantinya dengan shalat zuhur adalah uzur syar’i karena kondisi sulit yang memaksa kita untuk melakukannya. Peputusan ini berdasar pada kaidah fikhi yang berbunyi “Dar’ul mafaasid awla min jalbil masaalih” yakni mencegah bahaya lebih utama daripada mendatangkan maslahat.
Pemerintah dan berbagai lembaga serta lapisan masyarakat saat ini sedang berjuang semaksimal mungkin untuk meredam penyebaran virus corona ditengah-tengah masyarakat, pilihan untuk tetap tinggal dirumah dan tidak menghadiri shalat berjamaah di mesjid sebagaimana tidak bekerja di kantor atau melaksanakan tabligh akbar sebagaimana tidak mengadakan konser musik dan hal lain yang bisa memancing konsentrasi publik.
Tidak berangkat menunaikan ibadah haji sebagaimana tidak bepergian ke luar negeri, bukan lagi sekedar memilih antara mana yang baik dan mana yang buruk melainkan pilihan antara mana yang lebih sedikit mudaratnya. Sungguh dibutuhkan kedewasaan umat islam dalam menghadapi wabah dan musibah yang terjadi saat ini sehingga tidak mudah terprovokasi oleh ungkapan-ungkapan propaganda yang terdengar hebat namun menyesatkan.
Menyikapi fatwa MUI tentang meniadakan shalat jumat berjamaah dan menggantinya dengan shalat zuhur di rumah untuk sementara waktu. Ada baiknya kita kembali menyimak nasehat Ibnu Taimiyah tentang ijma atau kesepakatan ulama dalam suatu perkara yang berbunyi, “adapun kesepakatan ulama itu adalah suatu kebenaran karena umat ini walhamdulillah tidaklah mungkin bersatu dalam kesesatan, sebagaimana Allah telah menyifatinya dalam al-Kitab dan al-Sunnah” (Majmu’ah al-Fataawaa).
Pada hakikatnya solusi paling ampuh dari segala masalah yang dihadapi oleh sebuah umat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah persatuan diantara mereka, berjihad melawan virus corona yang tidak nampak namun nyata tidak bisa dilakukan secara sendiri sendiri, karena pada dasarnya saat kita melindungi diri dari infeksi virus sesungguhnya kita juga sedang melindungi orang lain disekitar kita dari bahaya terinfeksi virus.
Menghitung hari menyambut bulan Ramadhan mari kita bersama memanjatkan doa, semoga kita semua senantiasa diberi kesehatan dan lindungan dari sang maha Pengasih, sehingga bisa menyambut ramadhan dalam keadaan sehat bersama dengan keluarga.
Penulis: M. Dzal Anshar, ASN Kemenag Sul-Sel.