Thu, 12 Dec 2024
Esai / Kontributor / Jan 05, 2021

Tim Pemburu Korupsi, Lalu KPK Ngapain?

Dalam upaya pemberantasan korupsi, nampaknya tidak memiliki kemajuan yang patut dibanggakan. Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Tongat menyebut ada dua kegagalan pemberantasan korupsi yang terjadi selama ini. Yaitu penegakan hukum terhadap kasus korupsi tidak memilki efek jera, sehingga pelakunya tidak pernah merasa takut melakukan korupsi. Selain itu ada efek pencegahan yang kurang maksimal dan membuat korupsi terus dilakukan.

Disisi lain, penindakan oleh KPK terhadap tindak pidana korupsi masih terus dilakukan namun kerugian Negara juga terus meningkat. Bahkan kerugian yang dialami Negara tertinggi pada 2019 yakni 6,2 triliun selama lima tahun terakhir. Demikian juga dengan jumlah kasus yang ditangani oleh KPK yang mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Pada 2019 kasus yang ditangani yakni 62 kasus, tertinggi sejak 2015. Belum lagi dugaan tindak pidana korupsi yang belum tuntas atau bahkan yang tidak berhasil diketahui

Senada dengan hal ini, Kemenko Polhukam Mahfud MD akan membentuk tim pemburu koruptor (TPK) (Kompas.com, 14/7/2020). Sontak Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, memberikan respon terkait wacana dibentuknya Tim Pemburu Koruptor. Menurutnya tim tersebut sudah pernah dibentuk, tetapi tak memberikan hasil yang optimal. "Pembentukan tim ini di tahun 2012 dan kenyataanya tidak memberi hasil optimal. Cukup untuk menjadi pembelajaran untuk tidak diulangi lagi," Ujar Nawawi saat dikonfirmasi di Jakarta.

Nawawi mengatakan, dari pada membentuk Tim Pemburu Koruptor, akan lebih bijak jika pemerintah meningkatkan koordinasi dan supervisi antar lembaga penegak hukum, serta lembaga terkait lainnya. "Sekaligus, menyemangati lagi ruh integrated criminal justice sistem yang belakangan ini menjadi seperti jargon tanpa makna," ujarnya.

Betul, seperti jargon tanpa makna. Terlebih saat KPK dilemahkan lewat revisi UU KPK dengan menghilangkan sejumlah kewenangan yang dulu dimiliki melalui UU Nomor 30 Tahun 2002.  Sekarang langkahnya membentuk kembali tim pemburu koruptor dengan sejumlah institusi rasanya akan membuat KPK turun pamor. Atau pemerintah ada rencana ingin KPK dibubarkan? Entahlah.

Disamping itu, pernyataan dr Tongat yang menyebut penegakan hukum bagi napi koruptor tak memberi efek jera memang perlu diperhatikan. Sebab rugi, percuma, buang-buang tenaga, waktu dan keringat apabila sampai dibuatkan tim khusus untuk mencari dan diadili lantas berujung remisi. Bahkan dari data ICW menyebutkan sepanjang tahun 2018 lalu rata-rata pelaku korupsi hanya 2 tahun 5 bulan penjara.

Sementara uang hasil korupsi mungkin saja tidak akan habis 7 turunan. Dengan demikian cita-cita Indonesia bebas korupsi hanya mimpi disiang bolong.

Sementara sistem Islam (Khilafah) menempatkan tindak korupsi sebagai salah satu cara kepemilikan harta haram. Sebab korupsi termasuk tindakan pengkhianatan. Korupsi dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat Negara dengan sewenang-wenang, baik dengan memanipulasi ataupun melakukan tekanan kepada pihak lain untuk menyerahkan sejumlah harta yang bukan haknya. Baik itu milik Negara, milik umum maupun orang lain.

Islam dengan tegas memberikan hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, suap dan penerimaan komisi haram. Pada masa Rasulullah Saw. pelaku kecurangan seperti korupsi, selain harta curangnya disita, pelakunya juga di tasyhir atau diumumkan kepada khalayak.

Pelaku suap dan korupsi juga bisa diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qadhi sebagai ta’zir dalam sistem pidana Islam. Hukuman seperti ini yang membuat beda antara sistem Islam dan sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, hukuman untuk para koruptor bisa dirubah sesuai kepentingan.

Keserakahan para pelaku juga menjadi poin utama dari maraknya kasus korupsi ditanah air. Ditambah lemahnya hukum juga mahalnya ongkos politik dalam sistem demokrasi. Untuk menjadi kepala Desa saja, seorang calon harus punya dana 500 juta bahkan lebih. Ini baru kepala Desa, belum jabatan yang lebih tinggi lagi.

Pastilah ongkosnya akan mencapai miliaran. Padahal gaji yang mereka terima sangat tidak sebanding ongkosnya, karena itu agar tidak buntung tentulah harus korupsi. Setelah korupsi, larilah ke kandang teraman yaitu Singapura. Mengapa singapura? karena Indonesia belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Negeri singa tersebut.

Karena itulah sudah saatnya umat kembali pada syariat Islam yang datang dari Allah, aturan Mahasempurna.

Wallahu a’lam

 

Penulis: Melisa, Pegiat Literasi Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.