Trajektori-Masyarakat dan Pandemi COVID-19
Beberapa pekan terakhir sampai tulisan ini hadir, sebuah ‘ledakan’ masih sangat nyaring terdengar. Bukan ledakan bom nuklir seperti yang pernah meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki, bukan pula ledakan untuk pembukaan arena proyek tambang di pegunungan yang acapkali dilakukan. Akan tetapi, ledakan kepanikan dan ketakutan masyarakat Indonesia hingga penjuru dunia terhadap kehadiran pandemi Corona Virus Disease (Covid-19).
Covid-19 pertama kali diidentifikasi dan menyerang Wuhan, Tiongkok hingga menelan banyak korban jiwa sebelum menjalar ke beberapa negara termasuk Indonesia. Seperti yang dibahasakan oleh beberapa ahli kesehatan bahwa virus ini sangat cepat persebarannya berikut beberapa gejala bagi suspectnya seperti gangguan sistem pernafasan dan memiliki tingkat risiko yang sangat tinggi bagi manusia yang terpapar seperti kematian.
Mendengar kabar Covid-19 telah mewabahi Indonesia dan ratusan orang terpapar virus ini tentu menimbulkan ketakutan dan kepanikan tersendiri bagi segenap masyarakat. Betapa tidak, hal tersebut pun didukung langsung oleh platform canggih dan pintar (media) dengan model pengemasan berita yang beranekaragam dari yang hanya mengabarkan kondisi terkini Covid-19 di Indonesia hingga daftar korban yang disokong oleh riset sesuai keakuratan masing-masing.
Semua pemberitaan baik media daring maupun luring hampir dapat dipastikan mengandung unsur kepanikan tersendiri bagi masyarakat, selain karena kebiasaan masyarakat hari ini yang cenderung konsumtif tanpa ruang penyaringan atas sebuah berita juga dikarenakan karena kekompakan pemberitaan oleh setiap media.
Jika kita menilik, media online, offline hingga pertelevisian sangat jarang (bahkan tidak ada) yang tidak memberitakan tentang pandemi Covid-19. Tak dapat dipungkiri, ruang media seperti yang dipekikkan Noam Chomsky telah menjadi situs komersialisasi yang bermanajerial profit berbasiskan rating. Hal tersebut dianulir sebagai konsepsi relasi kuasa atau politik kuasa media, selain bertujuan sebagai news-profit, juga sebagai medium pendisiplinan.
Kehadiran pandemi Covid-19 di tengah arus tumbuh-kembangnya teknologi dan informasi atau kita namakan sebagai proses globalisasi, menawarkan sekelumit polemik tersendiri bagi kehidupan masyarakat. Sosiolog Inggris, Giddens berpendapat bahwa kehidupan global atau globalisasi sebagai suatu hubungan sosial yang mendunia yang kemudian terhubung satu sama lain sehingga antara kejadian dari tempat yang berbeda bisa berdampak juga bagi tempat yang lain.
Covid-19 pada kenyataannya memang sangat mematikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Di Wuhan sendiri sebagai wilayah terdampak pertama menyentuh angka ribuan korban jiwa yang meninggal dunia. Selain itu tingkat kematian tidak langsung pun menyelimuti berbagai negara. Yang dimaksud kematian tidak langsung adalah saat manusia tidak menjalani interaksi sosial di lingkungannya seperti biasanya.
Meskipun hal demikian dilakukan sebagai bentuk pemutusan rantai penyebaran virus namun tanpa disadari, social distancing misalnya mampu melumpuhkan arena sosial sehingga memicu terciptanya rangkaian trajektori atau lintasan budaya masyarakat.
Trajektori-Masyarakat
Dalam Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosisologi Budaya, Bourdieu mendefinisikan trajektori sebagai serangkaian gerak suksesif seorang agen di dalam ruang yang terstruktur (berhierarki), yang bisa mengalami penggantian dan distorsi, atau lebih tepatnya, di dalam struktur distribusi jenis-jenis modal berbeda yang dipertaruhkan di dalam arena, modal ekonomi dan modal konsekrasi spesifik.
Bourdieu sesungguhnya menunjukkan bahwa pergulatan agen merupakan suatu proses yang mana segenap modal distribusikan dengan cara-cara tertentu demi ‘memenangkan’ atau meraih sesuatu yang menjadi taruhan dalam ruang dan arena tersebut. Implisit dari definisi tersebut, ruang dan arena bersifat cair dalam arti bisa berubah dan diubah, bukan sesuatu yang tetap dan konstan serta tentunya yang mampu mengubahnya adalah yang memenangkan dalam hal ini pemegang kuasa.
Perubahan dalam ruang sosial dan arena tersebut terjadi salah satunya karena melemahnya agen-agen yang sebelumnya menempati posisi sebagai yang dominan dalam arena tersebut mengalami penuaan-sosial; dan di saat yang sama, agen-agen muda, dengan segala modal yang dimilikinya, berusaha merebut posisi itu.
Pandemi Covid-19 menjadi peristiwa sosial yang memaksa proses reproduksi sosio-kultural terjadi sekaligus sebagai trajektori (lintasan) perubahan budaya masyarakat dimana di dalamnya juga terdapat agen-agen yang dulunya dominan bergulat untuk ‘memenangkan’ melalui modal (kekuatan) yang dimiliki. Tak ayal, kekerasan simbolik sebagai bentuk penaklukan kelas atas terhadap bawah semakin tak terelakkan.
Misalnya, perbedaan pendapat antara pemeritah pusat dan daerah tentang kebijakan lockdown. Keduanya ibaratkan agen dalam arena yang bertarung dengan kekuatan (modal) masing-masing untuk memperebutkan kemenangan dan kekuasaan sehingga mencipta sebuah habitus bagi masyarakat. Habitus tersebut tak lain adalah struktur kognitif yang berkabung: kepanikan dan ketakutan.
Trajektori sebagai titik vital arena produksi kultural tentu menyisakan sebuah harapan pasca badai Covid-19 berlalu, yakni perubahan budaya pada tatanan ekonomi, sosial dan politik di tubuh Indonesia untuk menjadi lebih berperikemanusiaan serta social distancing yang dilakoni saat ini tidak menjadikan kita sebagai pengidap nature deficit disorder seperti yang didefinisikan oleh Richard Louv dalam The Last Child in The Woods sebagai sebuah gangguan psikologi yang lahir dikarenakan jarang berinteraksi dengan lingkungan sehingga muncul sifat bebal tak mencintai lingkungan hidup.
Semoga kita semua terhindar dan pandemi ini segera berakhir. Imam Al Ghazali dalam The Canon of Medicine, obat segala penyakit ada dalam diri: Habluminallah wa habluminannas.
Penulis: Askar Nur, Mahasiswa jurusan Bahasa & Sastra Inggris Fakultas Adab & Humaniora UIN Alauddin Makassar. Penulis merupakan Presiden Mahasiswa DEMA UIN Alauddin Makassar Periode 2018 dan Duta Literasi UIN Alauddin Makassar 2019.