Thu, 19 Sep 2024
Esai / Kontributor / Feb 07, 2021

Urgensi Arah Kiblat: Dari Kalibrasi ke Standarisasi

Problematika arah kiblat di Indonesia masih menjadi pembahasan yang urgen bagi para ahli Ilmu Falak. Mengingat dasawarsa yang lalu komisi fatwa MUI pernah mengeluarkan fatwa MUI nomor 3 tahun 2010 tentang arah kiblat Indonesia menghadap ke Barat. Hal ini kembali mengingatkan umat muslim pada masa K.H. Ahmad Dahlan yang meluruskan arah kiblat masjid Yogyakarta pada tahun 1315 H/1897 M, yang dimana pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya mengarah ke arah Barat lurus, sehingga mengalami kemelencengan dan tidak tepat mengarah ke arah kiblat yang sudutnya 24º derajat ke arah utara dari arah barat (Barat Laut).

Namun setelah MUI mengeluarkan fatwa tersebut, akhirnya memicu perdebatan di antara para ulama, ahli falak dan pakar astronomi, sehingga MUI kembali mengeluarkan Fatwa MUI nomor 5 tahun 2010, bahwa arah kiblat Indonesia menghadap ke Barat Laut. Setelah umat muslim melalui fase perdebatan tentang arah kiblat Indonesia, masalah ini kemudian menjadi perbincangan khusus dikalangan pengurus-pengurus masjid dan musala, sehingga banyak dari mereka yang mengalami keraguan tentang arah kiblat masjid dan musala yang sudah lama mereka tempati untuk beribadah.

Kesempurnaan ibadah umat Islam dapat di nilai dari terpenuhnya dua ketentuan yaitu, syarat dan rukun. Jika dua unsur itu telah terpenuhi, maka ibadah tersebut bisa dianggap sah. Misalnya dalam melaksanakan salat, umat Islam tentunya diwajibkan menghadap ke arah kiblat. Karena menghadap ke arah kiblat menjadi salah satu syarat sah bagi umat Islam dalam melaksanakan salat, baik salat fardhu atau salat sunah, kecuali shlat khauf.

Kiblat pada dasarnya juga bermakna Kakbah, dalam bahasa Arab bermakna menghadap (muqabalah) dan atau arah (jihah) karena umat Islam menghadap ke arah Kakbah ketika salat. Kakbah merupakan pusat arah kiblat bagi seluruh umat Islam yang ada di dunia. Bagi orang-orang yang menetap di kota Makkah dan orang-orang yang berada di luar kota Makkah tentunya sangat berbeda.

Karena bagi orang yang menetap di kota Makkah dapat langsung melihat Ka’bah ketika melaksanakan salat, sedangkan untuk orang-orang yang di luar atau jauh dari kota Makkah seperti Indonesia tentunya menjadi persoalan. Secara filosofis, kota Makkah merupakan kiblat bagi umat Islam yang jauh atau tidak dapat melihat Kakbah secara langsung.

Banyak anomali yang seringkali terjadi dalam sosio-historis umat Islam, khususnya dalam penentuan arah kiblat, karena pada zaman dahulu orang-orang menentukan arah kiblat hanya dengan menandai arah mata angin, kompas seadanya, atau memberi tanda sesuai arah dimana posisi matahari terbenam.

Sehingga menimbulkan urgensi mengenai arah kiblat. Karena kurangnya pemahaman serta arahan dari pemerintah setempat, maka problematika arah kiblat ini yang kemudian mengharuskan umat muslim untuk memberi perhatian khusus terhadap arah kiblat.

Kurangnya perhatian masyarakat terhadap arah kiblat yang benar dapat dibuktikan ketika mendirikan masjid dan musala tidak dilakukan pengukukuran oleh orang yang ahli dalam bidang ini, bahkan tidak melewati verifikasi arah kiblat dari pihak yang berwenang.

Selain adanya penolakan dari masyarakat, bahkan mereka tetap berpegang teguh pada arah kiblat yang telah ditentukan oleh tokoh agama atau sesepuh mereka yang dahulu masih menggunakan instrumen-instrumen sederhana dan masih terbilang tidak seakurat dengan instrumen sekarang ini.

Kaidah dalam menentukan arah kiblat tentunya memerlukan suatu disiplin ilmu pengetahuan yang khusus. Dalam hal ini ilmu falak memiliki peran utama dengan masalah kalibrasi arah kiblat masjid dan musala, sehingga dapat meluruskan metode atau non-metode dalam menentukan arah kiblat.

Masalah metode yang di makud di sini adalah terkait bagaimana metode dalam penentuan arah kiblat, sedangkan non-metode adalah masalah yang berkaitan dengan aspek historis, sosial, keagamaan, budaya, dan bahkan psikologi jama’ah dan pengurus masjid dan musala di saat mengetahui adanya kemelencengan arah kiblat masjid dan musala yang mereka tempati beribadah.

Jika kedua hal ini terjadi ketidaksesuaian, maka kalibrasi arah kiblat akan mengalami deviasi, yang benar menurut rumus dan teori tapi dalam pengimplementasian tidak dapat diterima sebagai sebuah kebenaran atau kewajiban bagi pengurus masjid dan musala. Paradigma masyarakat akan terus mengalami pergerseran apabila tidak adanya pedoman khusus tentang arah kiblat yang ditetapkan oleh pemerintah khususnya Kementerian Agama Republik Indonesia.

Pedoman khusus yang di maksud dalam hal ini adalah bagaimana pihak yang berwenang dari Kementerian Agama Republik Indonesia mengeluarkan diseminasi sebagai standarisasi arah kiblat, agar ketika masyarakat mendirikan masjid dan musala dapat didampingi langsung oleh pihak dari kementerian Agama untuk menentukan arah kiblat dengan metode yang benar. Nun, wa al-Qalam, wa Ma Yasthurun.

 

Penulis: Fathur Muhammad, Alumni Mahasiswa Jurusan Ilmu Falak, Fak. Syariah dan Hukum, UIN Alauddin Makassar aktif di Astronom Mahasiswa Islam Sultan Alauddin (UIN Alauddin Makassar).

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.