3 Puisi Karya Wahyu
Kepada pagi kita menyembah
Burung-burung pagi menyulih polusi kota
Menjadi nyanyian-nyanyian agung
Kaki-kakimu serupa air mata
Yang lupa berhenti menggenang
Sudah berapa lama kita tidak melihat matahari pagi
Sejak kepulangan mu dari hati yang lain
Dan hujan di mimpiku sudah rontok rintiknya.
Dan gersang di dadaku sudah tandas tandusnya.
Kepada siapa rapal doamu bergulung-gulung
Berlipat-lipat kau tuju?
Sedang kita masih saja melihat gunung-gunung
Kosong tak dihuni Tuhan Musa?
Kepada siapa ketakutan ini kau pendam?
dadamu penuh dendam
Remuk redam.
Luka yang kau tanam
Dalam-dalam
Diam-diam.
Kau khidmat tenggelam
dalam kedalamanmu
Sudah kah kau, berdoa pada pagi?
*
12.17
Kita telah habis di daras kata.
Kau kalap, mencariku diantara
Matamu yang berair.
Aku tenggelam, di dasar pilihanmu
dan pilihanku yang tak kunjung cair.
Suara matahari:
Deru angin pagi, riuh kendaraan
Suara kota kontemporer
Panggilan selamat tinggalku
Menuju kelam matamu yang nanar.
Taman kota menjelma kita.
Taman kita kisah buangan yang naif
Dan hal-hal penuh kebohongan.
Kita, kebohongan yang kita
Sampaikan kepada diri sendiri.
Setiap malam menjelang kata-kata
Menutup mata.
*
Partitur
Samar-samar kudapati bau tubuhmu
Diantara puisi-puisiku yang purba
Padahal sekalipun puisiku
Tak pernah menjangkau tubuhmu
Dan kita tak pernah bercumbu dirak-rak
Toko buku di dalam kepalaku.
Aku bukan penyair
Dan kau bukan pendengar
Dunia tak ingin kita membaur
Puisiku bukan puisi bagimu: sebuah anomali !
Rindu yang rutin berkunjung
Setiap sewindu sekali
Lebih giat bekerja manakala
Kau nyanyikan mars kematianku
Dihadapan cermin kamar tidurmu
Tiap malam sebelum tidurku
Sekali sehari.
Dan aku: mengeras diantara lamunanmu
dan tapal batas kefanaan dunia.
Penulis: M. Wahyu Setiawan (Mahasiswa Psikologi UNM dan Pegiat Literasi di Stimulus Paradigma)