Dia begitu Hebat
Dan apa boleh buat
Aku dibuatnya terpikat
Sendu tertaut rindu
Beradu oleh Raut halu
Adakah Malu patut tersipu
Diantara kicau merdu bisikan angan
Deburan lembut sentuhan angin
Bersatu padu berikan ketenangan
Pejam kedua mata rasakan buaian
Alam semesta ciptaan Tuhan
Kuasanya tak terelakkan
Seluruh elemen dapat Ia kendalikan
Sang hamba tak henti menaruh harapan
Segelintir Permintaan bertubi diajukan
Apa yang tidak dapat Ia beri?
Adakah Ia masih akan selalu peduli?
Segala rintang pada fana yang kita lalui
Ia Maha Paham atas apa yang kita Ingini
Tenang, Kasihnya tiada terputus
Cintanya tentu begitu tulus
Meski Perjalanan belum tentu selalu mulus
Namun semangat untuk menjadi lebih baik harus tetap kita gas terus
*
Hujan
Hai
Bagaimana rasanya menjadi yang paling dinantikan?
Biar kuberitahu, di negara dua musim
kau selalu naik daun menjelang penghujung tahun
Kian banyak upaya demi merasakan hadirmu
Penantian yang tak terukur oleh para hamba
Terungkap secara tersirat bahkan tersurat
Sekalipun bumi pertiwi nyaris tercekik sekarat
Namun seakan tekadmu begitu kuat
Bahkan Tak jarang kau diangkat sebagai sebuah topik yang dikambing hitamkan atas ketidaksempunaan sistem di muka bumi
Benarkan kau hanya butuh dimengerti?
Adakah Kau akan datang pada waktu yang tepat?
Waktu kemudian bergerak terus maju
Hingga masa itu pun tiba
penantian akan hadirmu terwujud
Kau datang sesekali, berulang kali, bahkan selalu mengisi kali
Lalu bagaimana kali ini?
Ingin kuberitahu lagi, kini banyak kegembiraan setelah hadirmu
Rasa Sejuk yang kau beri ialah momentum mengesankan
Namun euforianya tak berlangsung lama
Kau masih jua menjadi sebuah alasan
Wujudmu dalam Pancaroba, genangan, pun badai
Lagi dan lagi kau menjadi alasan atas hambatan yang ada
Oleh orang-orang yang hendak beraktivitas di luaran sana
Nampaknya kau selalu menjadi kambing hitam saat tiada bahkan hadirmu sekalipun
Kini tak perlu kuberitahu bahwa namamu adalah Hujan
Namun bagaimana kabar mu saat ini, Hujan?
Harapku, kau tetap hadir sebagai perantara manfaat bagi para hamba.
Penulis: Nurul Septiani, perempuan dari daerah Jeneponto, namun saat ini sementara stay dulu di Makassar karena sedang berkuliah di Pascasarjana Teknologi Pendidikan UNM dan dalam masa penyelesaian study di sana.