Hujan kemarin, aku tidak cemburu kepada awan
Awan puas melepas beban lewat hujan
Dan aku puas melepas beban lewat do’a
Hujan kemarin, bagiku cukup rindu saja
Harapan telah kusampaikan pada Pemilik hujan dan rasa
Bagiku itu sudah cukup
Hujan kemarin adalah pengirim do’a yang sunyi
Meski bergemuruh, tetap saja ada rongga sepi
Gemuruh menyusupkan nada pada rongga
Sebuah nada, berisi do’a yang malu-malu
*
Saudara Tiri Dari Ibu Pertiwi
Cuit – Cuit Sang penyembah duit
Cuap – Cuap Sang penunggu suap
Begini saudara...
Jangan ragu saudara...
Ini amanah saudara...
Saya janji saudara...
Saudara percaya? mimpi saudara besar sekali
Untuk mereka yang tak ingin terbangun
Untuk mereka sang pencipta mimpi yang dusta
Saudara percaya? mimpi saudara mengharap cahaya
Untuk mereka yang membawa sinyal - sinyal dusta
Untuk mereka sang penolak cahaya
Mereka orang – orang pintar saudara..
Mereka pintar memasang dasi
Mereka juga ada yang bodoh wahai saudara...
Namun saudara justru memasangkan dasi mereka
Mereka bilang, kita bersaudara wahai saudara..
Mereka bilang, persaudaraan itu penting wahai saudara
Benarkah mereka saudara dari saudara?
Benarkah saudara punya saudara yang busuk?
Saudara ingin bersaudara dengan tikus selokan?
Mereka teramat kotor wahai saudara
Berlari – lari dalam gelapnya pipa selokan
Mengalir bersama air seni dan ampas - ampas halus
Mereka itu saudara yang mana Wahai Saudara?
Dengan keringat saudara bekerja, lantas mereka menjadi kaya
Namun dengan nikmatnya mereka makan, lantaskah saudara menjadi kenyang?
Lalu saudara ini sebenarnya siapa?
Laksana uang sebagai alat pemuas kebutuhan
Laksana pesugihan tanpa tumbal sebagai media memperkaya diri
Saudara, ini pesanku sebagai saudara
Jika saudara ingin mencari keadilan, mari kita hentikan persaudaraan
Dengan mereka, saudara tiri dari ibu pertiwi
Dengan mereka, setan – setan yang menjajah dalam persaudaraan.
Penulis: Fadilah Safar, konselor Sibawaku.id, Anggota Yayasan Asa Timur Indonesia.