Tentang Perjalanan,Rindu, dan Kekasih dari Sang Maha Kasih
Tuhan memberikan kita jalan
Yang terkadang basah karena nyanyian hujan
Dan terkadang buram karena hembusan debu
Tak jarang dedaunan bertebaran, berbisik rindu dalam gesekan waktu
Tuhan memberikan kita jalan
Beranak dan bersetapak
Berliku, berhias fatamorgana
Kerikil dan tanah yang licin, adalah kejutan di pendakian
Jalan sedang kita jajaki sendiri
Sambil terus mengacu pada satu pedoman
Sesekali tercurah simpati pada musafir yang pandai bersyair
Namun ternyata jalannya enggan kita lewati
Kita sedang sibuk dengan kedua kaki agar mampu bergerak ke depan
Namun hati yang sibuk mencari, disangka bisu dan terlelap
Hingga akhirnya langkah kita bertemu pada suatu jalan
Lantas kutanyakan kemana akan kau pergi?
“Aku menuju Tuhanku” begitu katamu,
Kemudian hati bersepakat tentang satu jalan, dan satu rasa telah bertemu
Kini perjalanan telah beda, jemari kita saling berselip erat-erat
Melangkahpun kita enggan saling mendahului
Debu dan air hujan justru menjadi alasan agar terus berjalan
Bahkan kerikil dan jalan yang licin, mampu kita lalui
Tak usah risau bila kaki kita terluka
Ingatlah bahwa lelah lebih terasa jika kita ingin mendaki
Ingatlah bahwa pedoman kita sama, dan kita adalah penguat satu sama lain
Kita ini sedang berjalan pulang
Jalan kita menuju kampung halaman dan untuk bertemu Tuhan
Kita berjalan dengan rindu yang sesak dalam dada
Wajarlah jika sabar dan percaya menjadi bekal yang selalu dikemas
Perihal cinta yang mengikat kita,
Kau adalah bukti bahwa do’aku dikabulkan Tuhan
Hatimu adalah alasan untuk mengalah dan menerima
Percayalah, aku adalah kekasihmu dari Sang Maha Kasih
Sabtu, 02 Juli 2016
*
-Mendamba Sebuah Arti-
Bermula pada suatu janji hingga nampak sebuah mentari
Lalu kurasakan belaian dari mereka, pemandu cintaku agar kumampu berayun di ranting cakrawala
Hingga perlahan nalarku merangkak kian tinggi, mencari hakikat janjiku dahulu
Waktu jelas tak mau menunggu, tubuhnya kekar melaju kencang membawa ragaku yang semakin merunduk
Namun waktu tentu tunduk kepada-Mu, dengan lapang dia menuangkan air dan menghapus penak agar kumampu mengadu dalam kasih-Mu
Untung saja Kau hadirkan teladan yang risalahnya teramat mulia
Bersamanya Kau sampaikan pedoman agar cahaya menjadi nyata dalam tiap pandangan
Dengan itu kutanamkan satu demi satu tiang-tiang penghalang bara yang mencandu di dalam dada
Terngiang sebuah tanya tentang sejarah setelah nanti aku tiada
Mungkinkah namaku akan abadi terangkai dalam tiap memori?
Ataukah justru terbenam bersama jasad yang perlahan merapuh
Entah apa yang telah kusemai disini, dan entah kapan senja akan menorehkan warna
Rindu seolah tak ingin beranjak dari jiwaku yang selalu ingin bersama-Mu
Dan bila nanti waktu membawaku dihadapan-Mu
Kuharap janji itu masih tersimpan dalam jiwaku
Ahad, 2 Agustus 2015
Penulis: Fadilah Safar, konselor Sibawaku.id. Anggota Yayasan Asa Timur Indonesia.