Kususuri Kenangan
KUSUSURI KENANGAN
1. Kususuri kenangan, sebab langkah kaki kita telah tiada. Ombak-ombak menghapusnya, tapi tetap menyisakan ingatan, yang tumbuh dan berbunga dalam kepala.
2. Ingatan-ingatan itu, berhembus bersama angin yang memainkan ujung kerudungku dan menggelitik telingamu, sebab rambutmu terus tumbuh, seperti kebahagiaan yang riap dalam dadaku, kala itu.
3. Kebahagiaan-kebahagiaan itu, kita titipkan pada bibir pantai, kita bagi pada segala yang kita temui sepanjang garisnya, tetapi kita lupa, ombak bisa menghapus segala yang dapat dijangkau, oleh tubuhnya, yang basah.
4. Di bibir pantai, pasir-pasir menggelitik, perlahan-lahan masuk dan memenuhi celah kakiku. Tapi tak ada tawa, sebab kesedihan tengah kupeluk dengan begitu nyata.
5. Kususuri kenangan dan berharap bisa bertemu kenanganmu yang masih tersimpan dalam kepala. Namun, sejauh apa pun kakiku melangkah, aku tetap tak bertemu siapa-siapa.
*
RENTA
Kelak,
kita ‘kan menghitung maju jumlah keriput dan uban
serta,
menghitung mundur jumlah usia yang
tak tahu kapan usai.
Uban-uban menjadi kalkulator bisu — menghitung kebahagiaan
yang tak pernah usai dihitung lengan.
atau kesedihan atau ketakutan atau kegelian
atau debar tak keruan — apa pun itu,
kepulan perasaan yang tertampung setelah sekian lama hidup denganmu.
Kerutan-kerutan mempererat jarak kita —
yang memang tak ingin jauh dengan lainnya.
Kelak,
kita ‘kan menghitung apa saja
menentukan mana yang sanggup tinggal
dan
mana yang sebaiknya tanggal.
sampai kita benar-benar sadar,
bahwa yang tak terbilang tetaplah kebahagiaan
yang terselip antara uban, keriput, dan pepori yang kita miliki.
Kini,
kutulis sajak ini, agar nanti dapat kaunikmati
saat lelah menghitung yang tak seharusnya dihitung lengan.
*
LARIK-LARIK UNTUK CINTA YANG TELAH PERGI
Di muka jendela,
kita memesan kebahagiaan,
juga takdir.
kita penuhi seisi rumah
agar tak ada lagi kekosongan yang mengisi diri dan hari-hari.
Hingga suatu pagi,
kulihat matamu begitu sembap
dedaunan, juga kebahagiaan gugur perlahan
tembok-tembok mulai retak,
dan tak ada lagi yang bisa kulihat
selain kepergianmu yang begitu cepat dan tiba-tiba.
Di kejauhan,
kau seret kopermu
dengan tergesa
tanpa memikirkan apakah jalanan dan hatiku
tetap baik-baik saja,
padahal keduanya telah retak dan berdarah-darah
mengaliri bekas langkahmu
yang makin jauh saja.
Penulis: Wanti Ayu Aprilian, masyarakat sipil serba biasa yang hidup dan mencari penghidupan di Bandung. Bisa disapa lewat akun Instagram @aprilian_id.