Lampu Jalan
1
Perempuan itu berjalan menyusuri jalanan tengah malam yang lengang.
Berjalan di atas mimpi-mimpi orang lain, meninggalkan mimpinya sendiri jauh dibelakang.
Di bawah mata lampu jalan dan punggung cakrawala, ia merasa sendiri.
Ditengah-tengah semesta yang luas ia merasa sempit oleh keinginannya.
Langkah kakinya gontai, bergantian saling melempar beban.
Remuk redam, tulang punggung, kaki-kaki, hati, dan kehadirannya.
Ia ingin menyatu dengan bintang-bintang.
Ia menjual raga untuk membeli asa. Menjual hati untuk membeli mati.
Menjual hari ini untuk membeli hari esok. Tiap malam. Seumur hidup.
Mimpinya yang besar kini ada di sepasang bola mata yang kecil.
2
Lelaki yang berjalan di tengah malam itu adalah kura-kura yang kehilangan cangkangnya.
Ia tak menggunakan sepatu. Tak ingin membuang waktu.
Apa ia yang cari adalah apa yang orang lain buang. Ia tak ingin mencuri.
Sebab ia tahu rasanya kehilangan. Ia hanya ingin mencari serpihan tubuhnya yang beterbangan.
Dulu sekali, ia tahu bagaimana rasanya membuang uang ditempat hiburan.
Menghabiskan malam dengan minuman. Pulang dengan hati yang tenteram.
Kini, ia bahkan tak kenal dengan pulang. Ia hanya tahu lampu jalan, teman setianya.
Emperan toko orang cina. Hotel terbaiknya. Kini tidurnya pulas, tak ada lagi mimpi.
Matanya telah redup bersama bintang diatas kepalanya.
3
Dulunya, mereka berdua senang berjalan-jalan di kota. Sorot lampu jalan adalah alunan lagu pengiring romansa mereka. Angin malam, perantara angan mereka yang belum tuntas.
Setelah cukup mampu, mereka tak lagi berjalan. Kini mereka membelah langit kota dengan sepeda motor.
Berlari meninggalkan kesendirian masing-masing.
Berharap pergi selamanya berdua, meninggalkan mata kamera orang-orang asing.
Yang taunya hanya memotret kesedihan, tapi dirangkai ulang menjadi keindahan.
Tapi mereka tahu satu hal, membohongi diri lebih sulit daripada saling membohongi.
Waktu, satu-satunya hal yang mampu membuat mereka sadar, mereka tak bisa menyatu.
4
Ia yang berjalan dibawah lampu jalan tidak menyadari sinarnya lebih redup.
Usia baginya hanyalah angka-angka yang tiap tahun bertambah. Pesta-pesta yang makin meriah.
Dan segala tetek bengek tentang doa dan harapan.
Baginya kematian adalah gang-gang sepi yang menunggunya lewat.
Ia bisa saja lewat, bisa saja tidak. Pikirnya itu pilihannya.
Ia tak ingin bertemu senja. Bercakap-cakap dengan senja hanya menambah kesendiriannya.
Ingatannya tak bisa berbohong, wajah kekasih lama adalah ukiran senja itu sendiri.
Matahari terbenam bersama dengan dirinya.
Akhirnya, ia bisa bertemu kekasihnya lagi. Pikirnya.
Penulis: Wahyu Setiawan (Mahasiswa Psikologi dan Pegiat Literasi di Stimulus Paradigma)