Rumahku Rumah Kaca
Rumahku Rumah Kaca
Sepanas apakah lebur api yang membakar langit?
Tanah memuai, mencipta retak dan belah. Pohon tumbang, induk burung sumbang. Air-air menyita bekas danau dan lekuk sungai. Habis. Gersang merambat lagi. Memeluk polusi yang anarki. Sepasang sendal merayap pelan menuju timba, namun mata hanya fana bersisa fata dan morgana. Dua puluh juta lambung tersiksa di dalam bahtera terik mentari, merebus bumi hingga matang.
Dan lautan tumpah di dalam kenang, bersimbah dusta bila ia datang, merasuk pada jiwa yang tak tenang. Satwa air menghilang, rimbun hutan tak lagi dipandang. Sampah menganga di mulut penyesalan. Bertumpuk tinggi, melambung ke awan. Pabrik jatuh sakit, reboisasi jatuh bangun, dan alam berakhir jatuh cinta pada asap-asap yang kini menyakitinya perlahan, lebih sakit dijadikan pelampiasan. Pergi diam-diam, membekas luka yang melesap duka. Alam mengabu, berselimut kalbu, dan emisi karbon justru membiru.
Sepanas inikah lebur api yang membakar langit?
Panas bintang merapuhkan dinding kutub. Es berserakan, berubah air yang menyerbu daerah industri. Panas bumi dikerahkan, melumpuhkan aset paru-paru dunia; banjir bah. Gempa tak lagi satu titik, dan tangisan manusia bagai tetes gerimis yang turun rintik-rintik. Bencana komplikasi, tawa-tawa masih terisolasi di buku para pejabat tinggi. Yang lagi-lagi berencana memusnahkan bumi dan segala kenangan para manusia
Sepanas itukah pergolakan di bumi?
Usai mereka terjebak rumah kaca justru mereka enggan berkaca pada Zat yang mencipta semesta
Anomali dan Anatomi
Tak ada lagi donasi dan bantuan dari televisi ternama, bencana ditutup sementara. Ribuan posko dihapuskan dan rentetan ambulance bersuara pun tak jumpa.
Sana-sini memegang perut, satunya mengusap mata dan pipi tirus, yang lain menekan gendang telinga. Hening bercampur cekam, sebagaimana perih larut dalam pedih. Anggota badan mati, tersisa bibir yang dipaksa bungkam lalu bermuram durja.
Hutan bak letupan kompor yang menyala, lautan mendidih bukan masak air namun anomali hidrologi; hujan kembali ke laut dari laut kembali ke tsunami. Kacau. Tangisan berwujud.
Tangan menjerit, memegang alat penghancur. Kaki-kaki malu berdosa, berjalan menuju kehancuran. Dan hati mendesah dimanakah nurani yang menggiring petaka. Seolah anatomi tubuh menjadi bukti bahwa bumi tak sedang baik-baik saja. Sementara, anomali hati terus bergulir meski raungan waktu tak menjamin keselamatan bagi para perusak bumi.
Penulis: Muhammad Ammar Fauzi, Mahasiswa Ilmu Quran dan Tafsir di UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Penggiat puisi dan prosa dengan nama pena Amrozzie bisa ditemui di akun instagramnya: @amruun_mrun.