Fri, 19 Apr 2024
Puisi / Jun 17, 2021

Terusir

Tergusur

Ada anak bertanya pada ibunya,
“Bu, aku ingin melihat hutan.”
Dan sang ibu menunjuk,
Tembok yang penuh gambar pepohonan.
“Itu, Nak. Indah sekali ya!”

Sang anak mendekat, lalu meraba,
“Betapa kasar tubuhmu, betapa hilang,
Aroma embun yang kerap menjamah,
Rekah daun nan hijau.”

“Ibu, aku ingin memagas jiwaku.”
Lalu ibunya yang sedang sibuk,
Menata kata indah tentang mawar dan melati,
Menjawab, “Maksud kamu apa, Nak?”

“Aku ingin menjadi dinding, yang dilukis,
Gambar padang savana luas dengan kambing,
Yang sedang menyunyah rumput.”

“Aku menjadi sejarah, bagi sebuah kisah,
Yang mati di tangan penguasa rakus,
Tergilas dengan traktor korporat,
Melahap segala hewan menjadi ampas,
Emas yang dibawa untuk mempercantik,
Penampilan manusia berhati nahas.”

“Kamu sakit, Nak! Mari kita pulang,” kata Ibu.
“Kita pulang ke mana? Sedang rumah,
Rata dengan tanah.”

*

Terusir

Hutan yang kau tanam dalam dadaku,
Kini telah ringkih menjadi ranting-ranting,
Yang layu dan mati.
Sungai air mata yang mengalir di pipi,
Isyarat tangan yang terbuka dengan investasi.

Merongrong orang rimba dengan proyek,
Mengusirnya cukup mesin yang unjuk gigi,
Menebas pohon tak bersalah, melinjak tanah adat,
Mengeruk perut bumi hingga kopong.
Lahir hati melarat dengan jiwa sekarat.
Tiada yang tersisa dari mulut penguasa,
Selain omong kosong!

*

Melukis Pemandangan

Kata gurunya, Ardhi disuruh melukis pemandangan,
Ardhi dengan semangat membentuk garis lengkung,
Jadi sebuah gunung.
Membangun rumah, menanam pohon,
Dan tak lupa ada sesosok petani yang sedang,
Menanam benih; terbentang sawah yang indah.

Ardhi lalu menggambar dua burung,
Yang terbang bebas di sisi kanan dan kiri kanvas.
Tak lupa ia warnai merah senja cakrawala,
Dan mentari terbenam tepat di balik gunung yang kukuh.

Tiba-tiba, ayah yang sedang membaca berita investasi,
Menyetel lagu “Heal the World” Michael Jackson.

Sedang Ardhi tetap sibuk membuat sungai jernih,
Di sisi tengah sawah; berharap dia tak kering dan bisa panen,
Petani pun bisa tersenyum semringah, dan menikmati sore,
Bersama istri dan anaknya di sebuah saung.

Pada suatu momen, Ardhi bingung.
Kira-kira mau dibangun apalagi.
Dia keluar dari apartemen dan melihat gedung-gedung,
Menantang langit malam.

Diilihatnya cahaya lampu yang lahir dari,
Setiap gedung mewah megah bak bintang; membuat wajahnya berseri.

Lantas Ardhi kembali ke mejanya,
Dan melukis sebuah gedung.
Dihapusnya gunung yang merenung,
Sungai dan pohon kering tiada arti,
Sawah kerontang telah mati,
Rumah menjadi puing,
Petani meringkuk dengan burung,
Yang bertengger di bahunya,
Tergurat wajah murung,
Mereka berkabung.

 

Penulis: Ardhi Ridwansyah, penulis buku antologi puisi tunggal Lelaki yang Bersetubuh dengan Malam. Salah satu penyair terpilih dalam “Sayembara Manuskrip Puisi: Siapakah Jakarta”, dapat ditemui di Instagram @ardhigidaw.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.