Waktu Tak Lekang Oleh Waktu
Pendukung
Dering alarm membuatku berlari
Menghirup udara segar di tanah anarki
Berat ayunan tangan dan hentakan kaki
Sedikit tertembok, pemimpin dicaci-maki
Di kala aku mengayuh sedikit raga
Di sana tampak sebuah nyawa
Tangannya diangkat, mulutnya terngaga
Seorang pendukung, dikirim untuk hamba
Kencanglah aku lari tanpa berhenti
Terobos palang pintu kereta api
Hancurkan kanak yang suka buli-buli
Hingga ruang pejabat yang suka korupsi
Masih ada di sana nyawa itu
Kali ini tersenyum tanpa ada gigi
Begitu aneh tak tampak curiga
Seorang pendukung, dikirim untuk hamba
Lari lagi di jalan panas
Kali ini rumah ibadah tengah digusur
Sampah menumpuk di kali-kali
Pun para pengobat yang suka menawar
Sedikit lagi sampai di rumah
Dan nyawa itu masih ada di sana
Gelak tawa dan sorotnya mirip bercanda
Seorang pendukung, dikirim untuk hamba
Sepatuku tak henti menghentak bumi
Sekarang lewat jeruji besi
Nenek ambil kayu jadilah napi
Harusnya besi buat para peledak diri
Aku sudah tak kuat lagi
Tanah anarki terlalu berat buat berlari
Udaranya panas, tanahnya gersang
Bukan lautan, tapi ladang babu
Ah, tanah ini sudah terlampau gila
Sosok nyawa yang sedari tadi berdiri di sana
Kenapa aku tak cepat-cepat merasa
Seorang pendukung, tidak lain adalah hamba
*
Waktu Tak Lekang oleh Waktu
Tangisku tak pernah disambut bunga
Kelopaknya menguncup menolak kebatilan
Ke mana duniaku pergi tak pernah aku tahu
Yang kuingin hanya hidup bahagia tanpa halu
Mereka berkata bahwa ku masih muda
Waktuku tersisa banyak, masih ada banyak
Tapi bagaimana aku bisa mengilhami waktu
Kalau ternyata
Waktu tak lekang oleh waktu
Kita bergerak dalam dimensi pribadi
Ketika dunia berjalan
Maka dimensi bertabrakan
Janganlah engkau menghitung waktu
Sejatinya waktu tak lekang oleh waktu
Ketika kita mati
Bukan waktu kita yang t’lah berhenti
Tapi dimensi pribadi melepas jiwa ini
Tak lagi bertabrakan dengan dimensi ibu Bumi
Sebab sejatinya
Waktu tak lekang oleh waktu
*
Surat Cinta
Engkau tak pernah tunduk dan sujud
tapi perutmu selalu kenyang
Engkau tak pernah mendengar dan memuja
tapi jiwamu sampai sekarang baik-baik saja
Bahkan engkau tak pernah percaya
tapi kasihku padamu masih luar biasa
Aku kurang apa lagi, wahai hamba?
Aku selalu memberi hari esok buatmu bercerita
Aku tak pernah lengah sedikit pun memandangi
Aku bersedia mengampuni dosa-dosamu yang sebesar bumi
yang mana tidak ada yang tahu kecuali aku dan kau
Terkadang kau marah, tapi selalu aku tunjukkan pintu keluar
Terkadang aku marah, tapi tak pernah aku menelantarkanmu
karena aku tahu kau masih mampu
Padahal aku cuma memanggilmu lima kali sehari
Bahkan kalau kau tak mau pun, syaratku cuma percaya
Meski cuma sebesar biji sawi
Tolong balas surat cintaku ya, wahai hamba
Penulis: Muhammad Gibrant Aryoseno, lahir di Kulon Progo, DIY. Biasa menulis novel, cerpen, dan puisi. Karya-karyanya dapat dijumpai di beberapa media daring, termasuk di laman Instagram-nya (@gibrantha). Novelnya "Machine with a Heart" adalah pemenang Wattys Indonesia 2022 kategori fiksi ilmiah.