Yang Mati Usai Bahagia
Pada Setapak yang Kita Pijak
Jalan masih panjang dan aku sendirian
Benar-benar sendirian
Menapaki garis waktu membuatku terenyahkan dari gemerlap dunia
Sejak saat itu, alunan melankolis itu tak pernah lagi kudengar
Sayup-sayup tak berirama yang saat ini singgah hanya membuatku kehilangan arah, lagi
Menuju ruang tak bertuan
Merpati mencoba menyapaku dengan candaan paruhnya
Sayangnya, aku telah terlampau jauh di tengah padang
Naskah alur kehidupan sudah sedari dulu menunggu
Tetapi sukma lebih memilih angin untuk menerbangkanku
Jauh
Tak terjamah lagi
2020
*
Dimensi Rasa
Apa yang lebih sakit dari kematian
Angin menari di atasku tanpa wujud
Mengusap tengkuk ketika langit hendak menangis
Aku tertegun, kau membuatku melayang
Apa yang lebih sakit dari kematian
Saat api hendak membakar
Ia tampak angkuh penuh sosok
Aku tertegun, kau membuatku menangis
Apa yang lebih sakit dari kematian
Saat kau ada, namun tanpa rasa
Saat kumerasakan rasamu,
Kau tiada
Apa yang lebih sakit dari kematian
Kisahmu laiknya wakil-wakil tuhan
Maka jika bahagia; wajah merekah
Adalah diksi paling memuakkan
2020
*
Pergi
Sebab air bisa menghanyutkan
Maka semua orang berusaha melepas
Sementara daun ikut melambai
Petugas pelabuhan mengumpat kelelahan
2022
*
Pulang
Lelucon membasahi kering tanah di hatimu
Meski sesaat serupa angin yang bertamu
Ketika di meja Warung Kopi Daeng berdinding kayu
Menguar kegetiran dari mata-mata sayu
Matamu menembus kegersangan
Senyum-senyum merekah mereka
Dalam kebingungan kata menjamah waktu kota
Yang tak tahu malu mendikte kepala-kepala
Di antara mereka gemar memotret kehampaan
Yang ramai dalam kebisingan, lalu
Kau merekam kehampaanmu
Tumpah ruah dalam dinding kamarmu
Kau diksi suci dalam serapah lagu-lagu
Menemani jalan panjang menuju rumahmu
Yang sama sekali tak berujung
Menuju pulang
2023
*
Yang Mati Usai Bahagia
Tubuhku adalah pemakaman yang ramai
Saban hari orang-orang asyik berziarah
Untuk meminta kemakmuran dan restu
Dan kematian-kematian yang kau antarkan
Tanpa belas kasih, menujuku
Tapi apakah arti pemakaman tanpa kesedihan?
Langkahmu menghentak, dedaunan luruh
Bisikmu lirih
memintaku duduk memesan bahagia
Pada pohon-pohon kamboja
2023
*
Perempuanku
Suatu malam yang lembab
Perempuanku tidurnya tidak lelap
Ia duduk di tepi ranjang
Matanya menyorot jendela mengambang
Bungkam
Di luar, bulan cahayanya biru
Perempuanku masih diam ketika aku asyik meremas dua
Tonjolan di dadanya yang telanjang
Perempuanku mengangkang
payudaranya mengayun
kendur
Lidahnya Mengeluarkan nyanyian-nyanyian sendu
Matanya sayu
Air mukanya menyedihkan
Ia berkata
Jika tak ada payudara dan vagina
Masihkah,
Aku hidup?
2023
Penulis: Naufal Fajrin JN, lahir 25 Maret 2000. Saat ini menempuh pendidikan di program studi Sastra Inggris Universitas Negeri Makassar. Selain menulis puisi, cerpen, dan esai, penulis juga menulis sebagai jurnalis untuk salah satu media pemberitaan daring di Indonesia. Ia menulis sejumlah puisi dalam album “Kendari Mencari, tapi Apa yang Hilang?” dan telah diterbitkan oleh sebuah komunitas literasi yang bernama Pustaka Kabanti yang berbasis di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Selain nomor telepon, penulis dapat dihubungi melalui DM Instagram @naufalfajrin.id atau dapat bertukar surat melalui surel naufalfjrn.jn@gmail.com