Fri, 21 Nov 2025
Puisi / Ahmad Nur Fadhil / Nov 16, 2025

Yang Tak Pernah Pergi

Yang Tak Pernah Pergi

 

Ada langkah yang menjauh dari cahaya,

membawa luka dan rasa bersalah dalam diam.

Jalan yang dulu terang kini redup,

karena hati yang lupa arah pulang.

 

Namun di balik gelap yang pekat,

cahaya kasih itu masih ada.

tak padam, tak menuntut, tak beranjak.

Hanya menunggu,

seperti langit yang sabar menantikan fajar.

 

Setiap napas sesal yang terhembus,

adalah panggilan lembut dari-Nya,

tanda bahwa rahmat masih mengetuk.

Setiap air mata yang jatuh di malam yang sunyi,

adalah doa tanpa suara

yang tetap sampai ke langit.

 

Tuhan tak menegur dengan marah,

Dia menegur dengan rindu.

Mengetuk lewat gelisah,

menyapa lewat sepi,

mengingatkan lewat kehilangan.

semua agar hati kembali mencari-Nya.

 

Dan ketika jiwa tersadar,

bahwa tidak ada tempat bersembunyi dari cinta,

maka barulah dimengerti:

yang menjauh selama ini bukan Dia,

melainkan manusia yang tersesat dalam khayalnya sendiri.

 

Ampunan-Nya turun tanpa syarat,

seperti hujan yang membasuh tanah gersang.

Cinta-Nya meluas tanpa batas,

seperti langit yang menaungi segala dosa.

 

Sebab Tuhan tak pernah pergi,

tak pernah bosan menunggu,

tak pernah lelah memanggil.

Hanya manusia yang kadang lupa,

bahwa bahkan dalam dosa pun,

ada ruang untuk pulang.

 

*

 

Setiap Sore Adalah Pulang

 

Senja belum sepenuhnya jatuh.
Langit masih menyimpan cahaya tipis,
namun ada sesuatu yang lebih dulu mengetuk—
bukan klakson jalanan, bukan tugas harian,
melainkan keharmonisan alam.

Padi menari di atas tanah,
gerombolan burung kecil berputar pulang,
dan desir angin meniupkan ketenangan.

Teringat pada satu sosok—
ia tak pernah memanggil,
hanya menyalakan doanya di atas minyak panas.

Irisan bawang, kecap manis, dan sisa sayur siang
bertemu dalam suara wajan;
seperti pulang yang selalu kukenal.

Aku kembali, bukan karena lelah,
tetapi karena rindu yang disajikan
dalam uap nasi yang menutup kaca jendela.

Di teras rumah, segelas teh manis
menemani hangatnya puisi sore.
Sepiring tempe goreng menjadi alasan sederhana
untuk duduk lama bersama.

Di balik semua itu,
ada kasih yang tak pernah surut,
tak pernah hambar, tak pernah selesai.

Dan aku tahu,
setiap sore adalah cara ibu berkata:
“Beristirahatlah, hidup ini masih hangat untukmu.”

 

*

 

Pukul Dua

Aku benci udara dingin malam ini.
Terlalu diam, terlalu jujur,
bikin semua hal yang udah kupaksa hilang
malah balik nongol di kepala.

Ada bunyi air netes dari atap,
nyebelin.
Kayak suara kecil yang sengaja ngingetin,
hei, lo masih nyimpen apa?

Kopi di meja udah dingin,
aku juga.
Kadang kupikir udah biasa,
tapi ternyata belum.

Dunia terus jalan,
aku juga pura-pura gitu.
Padahal ya, nggak ada yang benar-benar selesai.
Cuma berhenti dibicarain aja.

Aku capek ngerasa “nggak apa-apa.”
Tapi ya udah.
Kalimat itu enak dipake buat nutup semua hal
yang nggak tahu lagi harus diapain.

Pukul dua lewat sedikit.
Masih gelap,
masih aku,
masih nggak tahu harus apain sisa yang nyangkut di dada.

 

 

Penulis: Ahmad Nur Fadhil, lahir di Jombang, Jawa Timur. Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Gemar membaca dan menulis, serta memiliki hobi menikmati kopi.  Dapat dijumpai di Instagram: @fadhilahmaad 

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.