Keadilan di Setiap Karung
Manusia yang hakekatnya adalah makhluk yang paling sempurna diantara ciptaan Maha kuasa dari berbagai jenis makhluk yang ada diatas muka bumi ini. Sebutan makhluk sosial sangat tepat dilekatkan baginya. Dari segi kehidupan, manusia masih dan selalu berinteraksi antar sesama, hal ini menjadikan manusia hidup berkelompok dalam lingkup komunitas, adat dan wilayah. Terdapat hampir 240 Juta Penduduk tersebar diseluruh wilayah Indonesia.Dari jumlah tersebut, terdapat kelompok masyarakat prasejahtera yang merupakan Obyek Pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar hingga terciptanya penyetaraan sosial di seluruh Indonesia.
Upaya yang telah dan sedang dilakukan Pemerintah ialah berupa Program Bantuan Sosial Teruntuk bagi Keluarga Prasejahtera atau yang dikenal dengan Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Tak kurang anggaran mencapai angka Trilyunan yang ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial masyarakat diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga terlepas dari masalah kemiskinan, keterbelakangan dan ketimpangan. Seiring berjalannya waktu, Pemerintah memformulasikan bahwa kebutuhan dasar khususnya kebutuhan tersedianya pangan bagi kelompok masyarakat Prasejahtera sangat diperlukan, karena salah satu sumber permasalahan termasuk meningkatnya angka kriminalitas yaitu masih adanya masyarakat yang hidup kekurangan hingga pada akhirnya melakukan perbuatan yang melanggar hukum seperti pencurian, perampokan, penipuan dan lainnya.
Tahun pun berganti, Program Bantuan Sosial Pangan yang dicetuskan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Sosial menjadi salah satu terobosan dalam menangani permasalahan pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat Prasejahtera. Pada awal tahun 2018, dengan Bantuan Sosial Beras Sejahtera ditujukan bagi masyarakat Prasejahtera yang telah tercatat dalam Basis Data Terpadu (DT-PFM) dengan kriteria 25 % (Persen) ke bawah dari 40% (Persen) masyarakat Prasejahtera yang ada di masing-masing wilayah dan data tersebut bersumber dari Musyawarah Desa/ Kelurahan. Awal bulan Januari 2018, Program Beras Sejahtera ini mulai berjalan hampir diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Sosial nomor 4 tahun 2018. Program ini memiliki ketentuan yaitu gratis atau tanpa adanya pungutan kepada penerima manfaat atau masyarakat Prasejahtera dan berjumlah 10 Kilogram beras per keluarga Prasejahtera dengan kualitas beras yang layak konsumsi.
Sejenak berpikir dan merenung, ternyata ada beberapa pihak meragukan program ini khususnya dari segi kualitas beras yang dikhawatirkan menyerupai kualitas beras pada Program sebelumnya yaitu Subsidi Raskin. Alhamdulilah, anggapan itu perlahan sirna terlebih saat Program Beras Sejahtera (Rastra) telah bergulir. Sebelum proses distribusi, dilakukan pengecekan bersama terhadap kualitas beras di Gudang-gudang Bulog yang ada hingga saat proses pendistribusian ke masing-masing desa. Meskipun sudah dalam kemasannya, tetap akan dilakukan cek kualitas oleh Pemerintah Desa dan Pendamping Sosial dan terbukti bahwa kualitas bantuan itu telah berubah menjadi lebih baik. Namun tak sampai disitu, setelah kualitas terbukti layak, masalah bergeser pada hal lain.
Data penerima yang dianggap tak sesuai dengan apa yang telah dimusyawarahkan pun juga menjadi dilemma. Berikutnya, muncul sebuah ide, “Bagaimana kalau ini kita bagi rata saja mas ?” ungkap salah satu Aparatur Pemerintah Desa. Hal ini cukup mencengangkan, bagaimana mungkin bantuan yang telah tertuju dengan jelas siapa penerimanya dan jumlah kuantitas yang harus diterima malah harus dikurangi kuantitas dan ditambahkan penerimanya. Hal lazim yang terdengar, “Kenapa harus dibagi rata Pak?” maka dengan mudahnya jawaban terlontar “Kalau tidak dibagi rata nanti malah jadi rame mas”. Jawaban yang sedikit realistis namun perlahan perlu masuk dalam nalar logika dan aturan. Pertanyaan yang muncul dalam benak kita ialah “Ini kan Program Bantuan Sosial Rastra yang data Penerimanya bersumber dari Musyawah Desa, lalu Mengapa malah menjadi masalah kecemburuan?” kemudian “Apa dasarnya membagi rata Bantuan Sosial Rastra tersebut kepada yang tidak ada dalam Data Penerima yang telah disahkan Kementerian Sosial?” Suatu ketika terdengar “Masalah paling banyak ditemukan dalam Bantuan Sosial Rastra yaitu Bagi Rata” ungkap Pak Dadang Iskandar selaku Inspektur Jenderal Kemensos dalam Forum Transformasi Bantuan Rastra menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Surabaya pada 27 September 2018 lalu.
Ternyata hal ini sudah menjadi bagian yang kurang mengindahkan selama pelaksanaan Program Bantuan Sosial Rastra. Sebuah Program yang bertujuan baik dengan memenuhi kebutuhan masyarakat Prasejahtera dengan kuantitas 10 Kilogram di masing-masing karung bagi setiap Keluarga Penerima Manfaat namun jumlah itu tak sama dengan ketentuan hingga diterima oleh mereka yang berhak. Berbagai narasi ditemukan dengan dalih keadilan lalu agar tidak terjadi keributan hingga Aparatur Desa yang enggan diprotes oleh mereka yang tak menerima, menjadi sebuah komponen kesatuan bahwa hal bagi rata tersebut layaknya ilusi dalam kebenaran. Menjadi benar karena terbiasa namun sulit membiasakan yang benar. Dari sudut pandang hukum, tentu hal bagi rata tak dapat dibenarkan.
Dasar hukum pelaksanaan Bantuan Sosial Rastra telah diatur dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin dan Pedoman Umum Bantuan Sosial Rastra. Semua mekanisme telah diatur dan segala upaya telah dilakukan hingga tuntutan keadilan itu terlaksana hingga ke masing-masing karung beras yang Pemerintah bagikan kepada mereka yang dianggap berhak menerima melalui mekanisme Musyawarah bersama. Semoga kemiskinan hanyalah fisik dan bukan mental dari seseorang, karena itu adalah sumber masalah sesungguhnya yang telah diibaratkan “bagai minum air laut”. Takkan pernah merasa puas walau sudah terpenuhi.
#ProudOfIndonesia
Kontributor: Hussein (Koordinator TKS Kab. Jombang)
Editor: Redaksi