Mon, 22 Dec 2025
Esai / Wispa Elberia Sitorus / Nov 29, 2025

Literasi Ilmiah: Fondasi Calon Apoteker

Kayu Bajakah, tumbuhan dari hutan Kalimantan yang sempat viral karena diklaim sebagai obat kanker, padahal penelitian ilmiahnya masih terbatas. Bayangkan seorang pasien datang ke apotek membawa klaim itu, siapa yang bisa menilai kebenarannya?

Di sinilah urgensi literasi ilmiah muncul, calon apoteker harus mampu menilai bukti, membedakan fakta dari mitos, dan memberikan saran profesional berbasis data. Literasi ilmiah bukan sekadar kemampuan membaca jurnal, tetapi fondasi untuk berpikir kritis, bertindak etis, dan menjaga kepercayaan masyarakat di era sains modern.

Perkembangan dunia yang semakin modern menuntut setiap mahasiswa untuk mampu beradaptasi dan berpikir ilmiah dalam menghadapi derasnya informasi arus informasi. Saya, Wispa Elberia Sitorus, mahasiswi Farmasi Universitas Mulawarman, merasakan hal ini sejak awal perkuliahan.

Penggunaan jurnal ilmiah, artikel ilmiah dan sumber kredibel lainnya bukan lagi menjadi suatu pilihan, melainkan menjadi kebutuhan utama dalam penyusunan laporan praktikum, dan tugas akademik lainnya.

Dari hal tersebut, saya memahami bahwa literasi ilmiah bukan sekadar kemampuan membaca jurnal, tetapi juga kemampuan menilai keabsahan data, menarik kesimpulan logis, dan menerapkannya secara etis.

Pengalaman saya sebelumnya sebagai Putri Literasi di sekolah menumbuhkan kesadaran untuk terus menumbuhkembangkan budaya literasi, kini dalam bentuk penerapan literasi ilmiah yang mendukung sikap profesional dan tanggung jawab saya sebagai calon apoteker.

Oleh karena itu, esai ini akan membahas pentingnya literasi ilmiah bagi mahasiswa farmasi menjadi sebuah fondasi profesionalisme calon apoteker di era modern, baik dalam membentuk pola pikir ilmiah, menumbuhkan etika profesional dan mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Memahami metode ilmiah bukanlah sekadar kewajiban akademik, melainkan bagian dari pembentukan cara berpikir ilmiah yang sistematis. Pada setiap tahap praktikum, mulai dari mengamati suatu reaksi, membuat hipotesis, hingga menganalisis hasil, menuntut kemampuan menilai bukti secara objektif.

Literasi ilmiah menjadi kunci agar kita sebagai mahasiswa tidak hanya menyalin hasil percobaan, tetapi memahami mengapa reaksi terjadi dan bagaimana data diinterpretasikan.

Dalam praktikum formulasi sediaan obat, misalnya, literasi ilmiah membantu mahasiswa mencari literatur ilmiah terkait stabilitas zat aktif, mengidentifikasi kemungkinan kesalahan prosedur seperti ketidaksesuaian pH atau suhu penyimpanan, serta memperbaikinya berdasarkan dasar teori dan bukti empiris, bukan sekadar perkiraan..

Kemampuan ini menunjukkan bahwa literasi ilmiah tidak berhenti pada pemahaman teks ilmiah, tetapi berkembang menjadi keterampilan berpikir kritis yang mendukung pemecahan masalah secara rasional.

Sejalan dengan Bramastia (2023) dan OECD (2018), literasi ilmiah menumbuhkan kemampuan analitis berbasis bukti yang penting dalam profesionalisme sains. Bagi calon apoteker, kemampuan ini tidak hanya meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi juga menjadi fondasi dalam pengambilan keputusan etis dan bertanggung jawab di dunia kerja yang menuntut ketelitian dan integritas.

Di samping kemampuan dalam berpikir ilmiah, profesionalisme apoteker bergantung pada kemampuan berpikir kritis, etika, dan integritas ilmiah. Dalam era penuh informasi dan klaim yang belum tentu benar, literasi ilmiah menjadi penuntun moral dan intelektual. Kemampuan membaca dan menelaah jurnal melatih mahasiswa untuk peka terhadap validitas data serta membedakan fakta ilmiah dari opini.

Literasi ilmiah juga menumbuhkan sikap jujur, menghargai karya penelitian orang lain, serta menjauhkan diri dari plagiarisme. Pada tingkat lebih dalam, literasi ilmiah membentuk kesadaran bahwa setiap pernyataan ilmiah harus dapat diuji dan dipertanggungjawabkan, terutama karena berkaitan dengan keselamatan pasien dan kepercayaan masyarakat.

Lebih jauh lagi, literasi ilmiah menjadi modal utama menghadapi perkembangan sains dan teknologi yang terus berkembang, termasuk bioteknologi, nanofarmasi, dan pemanfaatan kecerdasan buatan. Mahasiswa dengan literasi ilmiah yang baik lebih mudah memahami riset terkini, menilai metodologi, dan menghubungkan teori dengan praktik.

Literasi ilmiah juga mendasari evidence-based pharmacy practice, yakni praktik kefarmasian yang berlandaskan pada bukti ilmiah terbaru dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kemampuan tersebut, apoteker masa depan dapat berperan lebih luas sebagai penghubung antara pengetahuan ilmiah, teknologi, dan nilai kemanusiaan.

Sehingga apoteker tidak hanya memastikan keamanan dan efektivitas obat, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup pasien. Dengan tetap berpijak pada kebenaran ilmiah, berpikir kritis terhadap inovasi, dan menjaga etika profesional, literasi ilmiah menjadi fondasi yang meneguhkan tanggung jawab moral seorang apoteker di tengah arus informasi sains modern.

Literasi ilmiah sejatinya merupakan wujud kedewasaan intelektual yang menuntun seseorang untuk berpikir berdasarkan bukti, bertindak dengan integritas, dan mengambil keputusan yang berlandaskan tanggung jawab moral.

Bagi calon apoteker, kemampuan ini tidak berhenti pada memahami jurnal atau prosedur ilmiah, melainkan berkembang menjadi cara pandang terhadap dunia sains, cara pandang yang menuntut ketelitian, kejujuran, dan kepekaan etika dalam setiap langkah praktik kefarmasian. Di tengah kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, literasi ilmiah menjadi kompas yang menjaga profesionalisme agar tetap berpihak pada kebenaran ilmiah.

Bagi saya pribadi, menjadi seorang mahasiswi farmasi bukan hanya tentang mengenal berbagai obat dan proses kimianya, tetapi juga tentang menumbuhkan cara berpikir yang berintegritas dan bertanggung jawab. Literasi ilmiah membantu saya belajar untuk tidak mudah percaya pada klaim tanpa bukti, berpikir terbuka terhadap temuan baru, dan menghargai hasil penelitian orang lain.

Dengan bekal literasi ilmiah yang kuat, saya berharap dapat menjadi bagian dari generasi apoteker yang tidak hanya berpengetahuan luas, tetapi juga beretika, adaptif terhadap perkembangan zaman, dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.

“Scientific literacy is an intellectual vaccine against the claims of charlatans who would exploit ignorance.” -Neil deGrasse Tyson

 

Penulis: Wispa Elberia Sitorus, mahasiswi Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.