Perempuan Bila (Tidak) Menulis Seperti Kartini
“Perempuan perlu menulis dengan Tubuh.” Pengajuan Helene Cixous di dalam esainya sebagai apa yang dinamainya Ecriture femine.
Pendapat yang begitu metaforis digunakan Cixous merujuk pada perempuan yang hanya memaknai tubuh pada sisi seksualitas saja, tetapi bagi Cixous tubuh perempuan bisa dituangkan lewat teks dan Bahasanya sendiri.
Jikalau, seandainya perempuan hanya mengandalkan penampilan fisik tubuh untuk dipertontonkan? Suatu sindiran keras bagi mereka yang hanya bisa mnggoreskan pensil alis di wajah, tetapi tidak mampu menuliskan gagasan pemikirannya lewat teks tulisan sepanjang hayatnya.
Berkaca terhadap unjuk rasa mahasiswa yang berakhir dengan keadaan chaos. Seringkali demonstran perempuan dianjurkan mundur untuk menghadapi situasi. Karena titik lemahnya perempuan ada pada kekuatan fisik menyelematkan diri dari kerusuhan. Mirisnya, kadangkala yang penulis temui, ketika unjuk rasa selanjutnya dilakukan untuk mewanti-wanti terjadinya chaos, perempuan sengaja ditempatkan pada barisan paling depan untuk mencegah tindakan represif polisi.
Sebab, dari hasil konsolidasi sebelum unjuk rasa dilakukan dikatakan polisi hanya takut berhadapan pada perempuan. Apalagi perempuan berparas cantik. Dari peristiwa ini, penulis tidak sepakat bila perempuan hanya dinilai dari tampilan luarnya semata-mata. Perempuan punya kekuatan bahasa yang bila digagas dan diberi ruang akan lebih massif pengaruhnya. Seperti kata Cheris Kramarae “ Bahasa niscaya menentukan batas-batas dunia, mendefinisikan realitas, dia yang berada dibalik alat tersebut akan berkuasa mengkonstruk realitas.”
Seperti yang kita ketahui bersama bahasa sudah menjadi institusi sosial yang terinternalisasi dan persebarannya akan meluas serta diperhatikan , bahkan bisa mempengaruhi sosiokultural sebuah peradaban. Salah satu bentuk penuangan bahasa, selain dengan lisan yang tak kalah penting adalah melalui tulisan.
Bagi penulis, urgensi menulis bukanlah sebatas pada pemaknaan bahasa, melainkan pada proses produksi dan penggunaannya yang perlu ditindaki. Itulah mengapa, perempuan harus bisa menulis, sehingga ia mampu mengabadikan corak pikirnya melalui penuangan gagasan lewat tulisan sebagai bentuk pengabadian jejak perjuangannya mengawal dan menolak penindasan.
Atau paling tidak, perempuan menuliskan harapan-harapannya di masa mendatang, tentang pemikirannya menanggapi problematika kaumnya sendiri. Jangan sampai laki-laki lebih bisa menuliskan persoalan perempuan dibanding kalangan perempuan itu sendiri. Berkembangnya istilah feminis laki-laki menjadi tanda bila yang rajin menulis, menyunting ataupun menerjemahkan buku-buku adalah feminis yang bukan perempuan, seperti Mansour Fakih, Muhidin Dahlan, Tommy F. Amuy dan Ariel Heryanto.
Tentu ada akibat yang fatal bila minat perempuan dalam menulis semakin berkurang drastis. Bisa jadi akan menyurutkan perjuangan kaum feminis selama ini. Seperti yang dilakukan oleh Kartini pada masanya.
Kartini adalah salah satu sosok perempuan yang terkenal melalui surat-surat yang ditulisnya lalu ditujukan kepada sahabat terpercayanya Estelle Zee Handelaar di Belanda. Isi-isi suratnya tak lain sebagai bentuk curahan sekaligus protesnya terhadap masa pingitan yang membelenggu geraknya.
“kemajuan suatu masyarakat tidak akan tercapai tanpa memajukan terlebih dahulu kaum perempuan.”
Gagasan inilah yang paling menjajah Kartini dan terus berkutat dalam pikirannya. Meskipun usianya masih sangat muda pada saat itu, kesadarannya terhadap pendidikan justru sangat nampak. Hal ini diceritakan lewat suratnya disaat ia menjalani masa pingitan selama kurang lebih 5 tahun.
Kartini manfaatkan waktu yang disebutnya penjara dengan aktivitas produktif seperti rutin membaca buku-buku yang diberikan ayahnya dan surat kabar yang tidak pernah ia lewatkan untuk mencari tahu informasi terkini seputar Hindia Belanda. Kemudian mendiskusikan hasil bacaanya dengan menggandeng adik-adiknya agar satu misi dalam menentang kondisi masyarakat yang menempatkan perempuan tidak setara dengan kedudukan laki-laki.
Kartini juga mengkritik persoalan perkawinan usia dini dan poligami pada masa itu. Kartini lalu mengisi malam-malam heningnya hingga larut malam dengan menuliskan gagasan-gagasannya. Lantas, kebanyakan kita temui perempuan hari ini masih enggan menuliskan jejak perjuangannya selaku aktor utama peradaban seperti yang dilakukan Kartini.
Saparinah Sadli, mantan Ketua Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dalam diskusi bulanan Penerbit Buku Kompas menuturkan “kaum perempuan masa kini harus mampu menuangkan dan menyebarkan gagasannya melalui tulisan, seperti yang dilakukan Kartini.”
Tidak jarang feminis radikal berkomentar, mengapa harus kartini? Mengapa bukan perempuan-perempuan yang lain, kan ada banyak pejuang perempuan pada masa itu. Bahkan, ada yang bertaruh mengangkat senjata dibanding Kartini yang hanya menuangkan gagasannya.
Apa ada unsur politis yang melegitimasi sejarah pengaguman seorang Kartini? Hemat penulis, Kartini melawan lewat tulisan bahkan berupaya keras mendirikan sekolah untuk memberdayakan kaumnya. Itulah bedanya Kartini dengan para pejuang perempuan yang lain.
Ia tidak melawan penindasan secara fisik, ia melawan dengan cara yang halus karena ia tau kekuatan sementara sekaligus kelemahan abadi perempuan ialah perlawanan secara fisik. Dialah pendobrak adat perempuan Jawa pada masanya.
Selepas masa pingitan, yang paling menarik dari kehidupan Kartini ialah karen ia berkolaborasi dengan adik-adiknya melakukan dialog dengan masyarakat tentang masalah yang dihadapi dan sejumlah harapan masyarakat. Alhasil, Kartini berhasil meningkatkan kesejahteraan pengrajin emas dan tenun pada saat itu.
Dibalik perjalanannya menyusuri desa, ia mengumpulkan data-data lalu mengabadikannya menjadi karangan. Dari sinilah, bakat menulis Kartini diketahui oleh Nyonya Ovink Soer yang dikenal sebagai karib dewasa Kartini. Beliau adalah seorang istri residen Jepara. Hal itu juga sudah menjadi sisi lain dari Kartini, ia mampu bersahabat dengan siapapun, tidak membeda-bedakan usia ataupun jabatan.
Perempuan bila tidak menulis seperti yang dilakukan Kartini, jejaknya akan sulit ditemui oleh generasi penerus di masa mendatang. Bukanlah sekadar alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran, bila kita pahami arti menulis. Melainkan, mengabadikan gagasan dan jejak terbaik sepanjang hidup sebagaimana prediksi Pramoedya Ananta Toer dalam Bukunya yang berjudul Rumah Kaca “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Akhir dari penulis, fisik memang mampu meninabobokkan pandangan seseorang terhadap perempuan, namun tulisan disertai analisis yang tajam justru bisa menundukkan lalu mematikan akal-akalan seseorang terhadap perempuan.
Baca, tulis, diskusikan lalu tindaki.
Selamat Memperingati Hari Kartini.
Penulis: Susi Susanti, mahasiswa PPKn Universitas Negeri Makassar.